Jumat, 16 Juli 2010

Pena Menjawab Teror (ICW)

       Korupsi memang telah menjadi sebuah penyakit komplikasi kronis di dalam pemerintahan kita. Dari hulu hingga hilir, banyak orang-orang berkepentingan yang melakukannya. Kekuasaan telah menjadikan banyak orang buta dengan kegelimangan dunia. Sehingga, cara apapun dilakukan untuk melanggengkan kekuasaan sekaligus untuk mempermulus korupsi.
       Penyerangan beberapa waktu lalu di kantor majalah Tempo dan yang menimpa seorang aktivis ICW (Indonesian Corruption Watch) adalah bukti nyatanya. Bahwa harta dan kekuasaan menjadi tujuan dengan mengesampingkan amanah rakyat. Dengan kekuasaan yang langgeng, maka logikanya adalah bisa mempermulus langkah untuk melanggengkan kekuasaan dan korupsi.
       Namun, ada beberapa hal yang harus kita perhatikan untuk melihat permasalahan ini lebih dalam. Harapannya, masalah bisa terselesaikan tanpa menambah permasalahan yang baru. Kalau kita amati, kasus ini muncul ketika ada konflik antara jajaran Polri dengan media dan ICW. Namun, masyarakat sudah teralihkan pada analogi bahwa ini adalah bentuk respon dari Polri untuk membungkam kebebasan pers. Padahal belum tentu begitu, barangkali ada pihak ketiga yang memanfaatkan momentum ini.
       Akibatnya, kita seperti diingatkan kembali tentang nasib kematian wartawan Udin dan Munir yang janggal dan penuh intrik. Bahkan sampai detik ini, belum diketahui siapa dalang di balik kasus wartawan Udin. Kekhawatiran tentang pembungkaman pers seperti orde lama pun segera merebak.
       Kalau dibiarkan berlarut-larut, maka masyarakat akan dihantui teror dalam melaksanakan kebebasan berbicara. Kontrol politik terhadap pemerintahan pun mengandur dan tekanan terbesar akan dialami oleh media. Jika media tertekan, maka yang akan menang adalah peneror yang memanfaatkan celah di antara perseteruan media dengan Polri.
       Nah, untuk mematikan tujuan para terror ini diperlukan sebuah sikap yang berani dari pers dan masyarakat. Tetap menjalankan kritik untuk mengontrol pemerintahan agar tidak cenderung beralih pada sistem pemerintahan diktator. Teror ini adalah bentuk penistaan terhadap Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa Indonesia. Penistaan ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Karena permasalahan terror ini menyangkut harga diri bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi Demokrasi Pancasila. Demokrasi yang humanis terhadap seluruh warga negara dan dalam hubungan dengan bangsa lain.
       Jangan jadikan teror ini sebagai hambatan untuk menyuarakan kebenaran. Tetapi cambuk untuk semakin paham tentang pengalihan isu dan politik adu domba yang dilakukan oleh pihak ketiga. Sudah semestinya pena kita harus selalu menggoreskan kebenaran, keadilan dan keterbukaan. Ketakutan jangan kita biarkan tumbuh dari pemikiran kita. Biarkan dia menjelma menjadi ruh pena yang selalu mengharapkan perbaikan bangsa ini. Mari kita lawan teror ini dengan tajamnya ujung pena kita. Karena korupsi tidak dapat kita biarkan menjadi sebuah kebudayaan dalam tubuh pemerintahan.

Isdiyono, Mahasiswa FIP
Universitas Negeri Yogyakarta