Sungguh sangat ironis, di bulan syawal yang penuh berkah ini malah dinodai dengan kegiatan tak penting seperti minum-nimiman keras (miras). Bulan syawal sudah seharusnya menjadi titik balik dan kelanjutan dari bulan Ramadhan. Karena puasa sebenarnya adalah ketika apa yang dilakukan di bulan Ramadhan tidak berbeda jauh dengan sebelas bulan berikutnya.
Miras memang bukan merupakan barang baru dalam kaitannya dengan penyakit masyarakat (pekat). Satu penyakit yang tidak menempel pada tubuh manusia. Tetapi melekat pada kebiasaan. Dia ada ketika seseorang sudah tak lagi kuat untuk menolak ajakan lingkungan yang memaksanya sama dengan yang lain.
Pekat berkembang dalam komunitas-komunitas kecil masyarakat yang bergerak dengan prinsip Multi Level Marketing (MLM). Ketika seorang sudah kecanduan, maka ia akan mengajak yang lain untuk mencobanya. Begitu seterusnya hingga yang terjerat menjadi semakin banyak. Awalnya adalah untuk mempererat persahabatan. Akan tetapi, cara ini sesungguhnya yang tidak sesuai dengan norma yang terjadi di masyarakat maupun norma agama.
Sayangnya, masyarakat sudah tak bisa mengendalikan komunitas-komunitas ini karena keengganan mereka untuk merubah kebiasaan. Hal ini terkait dengan efek dari minuman keras yang bekerja pada titik-titik syaraf yang menyebabkan efek relaks. Tuntutan hidup dan problematika kehidupan yang semakin bertambah dan kompleks menambah tekanan masyarakat semakin tak tertahankan. Orang dalam keadaan mabuk miras, akan sulit diajak untuk berkomunikasi. Untuk mengendalikan diri agar tidak jatuh saja sulit, apalagi untuk berpikir jernih tentu tidak akan mudah.
Dalam kondisi yang demikian, mereka yang tidak tahan akan cenderung lari dari kenyataan. Hal pertama kali yang dituju mereka adalah hiburan. Hiburan ibarat oase di padang pasir yang gersang, dia memberikan setitik embun dalam kehausan. Di dalamnya terdapat bermacam-macam hiburan yang bersifat baik dan buruk. Yang baik adalah ketika seseorang bisa mengendalikan diri, akan menjadi baik ketika semua orang dengan latar belakang berbeda berkumpul.

Sungguh sangat sayang ketika kebiasaan minum miras ini terus berlanjut. Karena penyebab minum miras rata-rata ingin melupakan sejenak masalah yang sedang dihadapi. Tidak kuat menahan tekanan hidup yang kian berat dan kompetitif. Apalagi, kebutuhan ekonomi kian meningkat seiring dengan meningkatnya standar kebutuhan hidup. Kebutuhan yang dulu bersifat tersier menjadi sekunder, dan yang sekunder sudah beralih menjadi kebutuhan primer. Tentu saja hal ini tak bisa ditolak, karena kenaikan ini adalah kepastian.
Pemberantasan tidak bisa dilakukan oleh perseorangan karena miras bukanlah masalah individu, tetapi komunitas di dalam masyarakat. Kebiasaan ini muncul karena adanya persamaan keinginan yang mendapatkan media dalam pelampiasannya. Ketika masyarakat sudah tergerak untuk memberikan nilai tentang betapa penting dan gentingnya masalah ini, maka kita sudah memiliki satu modal berharga.
Berbeda ketika masyarakat pun tidak merasa terganggu dengan kebiasaan mengkonsumsi miras. Masyarakat yang seperti ini tak akan dapat memenangi perang melawan miras. Padahal, miras adalah bukti nyata salah satu media perusak masyarakat. Karena ketika masyarakatnya tidak bisa berpikir dengan jernih, maka mereka akan mudah terombang-ambingkan oleh kepentingan orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Secara nasional, penyakit masyarakat ini akan melemahkan kesadaran bangsa akan pentingnya berpikir untuk negeri. Dalam tatanan sederhana adalah berpikir untuk lingkungan dan masyarakat sekitarnya. Bahwa di samping kita adalah mahkluk individual, kita juga mahkluk sosial. Manusia membutuhkan masyarakat untuk berinteraksi, memenuhi kebutuhan dan saling memahami dalam kehidupan.
Para pecandu miras tidak dapat kita sudutkan atau kucilkan dalam lingkup kecil masyarakat. Mereka sebenarnya membutuhkan bantuan kita sebagai orang-orang yang sadar dan mengetahui tentang ancaman dan bahaya mengkonsumsi miras. Bahwa miras akan merusak seluruh tatanan kehidupan masyarakat. Meskipun kelihatannya hal sepele, tetapi jika tidak diperhatikan, miras bisa menghancurkan bangsa. Apalagi sasaran utama adalah para pemuda yang masih dalam pencarian mencari jati diri. Mereka sangat rentan sebagai sasaran empuk penyakit masyarakat ini.
Betapa mengerikan jika generasi muda telah terkontaminasi kebiasaan mengkonsumsi miras. Generasi penerus bangsa kita tidak akan ada yang sehat. Mereka tidak bisa menjadi pemimpin yang baik ketika pikirannya telah terkontaminasi. Dalam masyarakat, miras memicu kericuhan dan menaiknya emosi dalam berbagai kesempatan. Sehingga, efek ini akan mengancam keberlangsungan komunikasi dalam memecahkan masyarakat.
Sudah saatnya kita semua bangkit dari pemikiran yang mengatakan bahwa miras di sekitar kita adalah berbahaya. Dia dapat menyebabkan kematian, dalam banyak kasus menyebabkan berpikir menjadi menurun. Sehingga dapat mengurangi kualitas masyarakat dalam memajukan wilayahnya untuk membangun bangsa.
Masyarakat yang berkomitmen tinggi untuk menyatakan perang terhadap perang sudah sangat dibutuhkan. Pernyataan perang melawan miras adalah salah satu bukti bahwa kita masih memiliki simpati dan kepedulian pada masyarakat kita sendiri. Sehingga, kita tidak akan melihat lagi korban bergelimpangan hanya karena menenggak miras. Pelampiasan dalam mencari hiburan yang salah, akan menyebabkan hidup menjadi sengsara. Wallahu a’lam.
Isdiyono, Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta
Bergiat di Trans-f UNY
*Termuat di Koran Merapi edisi Rabu pon 22 September 2010