Jumat, 24 September 2010

Gerakan Berantas Miras

Sudah begitu banyak korban bergelimpangan akubat minuman keras. Namun, sepertinya kejadian ini tak memberikan pelajaran bagi semua orang. Terbukti, dengan masih adanya korban baru akibat minuman keras ini. Berita terbaru terjadi di Wonosari, 3 orang tewas dan 1 orang kritis.

Sungguh sangat ironis, di bulan syawal yang penuh berkah ini malah dinodai dengan kegiatan tak penting seperti minum-nimiman keras (miras). Bulan syawal sudah seharusnya menjadi titik balik dan kelanjutan dari bulan Ramadhan. Karena puasa sebenarnya adalah ketika apa yang dilakukan di bulan Ramadhan tidak berbeda jauh dengan sebelas bulan berikutnya.

Miras memang bukan merupakan barang baru dalam kaitannya dengan penyakit masyarakat (pekat). Satu penyakit yang tidak menempel pada tubuh manusia. Tetapi melekat pada kebiasaan. Dia ada ketika seseorang sudah tak lagi kuat untuk menolak ajakan lingkungan yang memaksanya sama dengan yang lain.

Pekat berkembang dalam komunitas-komunitas kecil masyarakat yang bergerak dengan prinsip Multi Level Marketing (MLM). Ketika seorang sudah kecanduan, maka ia akan mengajak yang lain untuk mencobanya. Begitu seterusnya hingga yang terjerat menjadi semakin banyak. Awalnya adalah untuk mempererat persahabatan. Akan tetapi, cara ini sesungguhnya yang tidak sesuai dengan norma yang terjadi di masyarakat maupun norma agama.

Sayangnya, masyarakat sudah tak bisa mengendalikan komunitas-komunitas ini karena keengganan mereka untuk merubah kebiasaan. Hal ini terkait dengan efek dari minuman keras yang bekerja pada titik-titik syaraf yang menyebabkan efek relaks. Tuntutan hidup dan problematika kehidupan yang semakin bertambah dan kompleks menambah tekanan masyarakat semakin tak tertahankan. Orang dalam keadaan mabuk miras, akan sulit diajak untuk berkomunikasi. Untuk mengendalikan diri agar tidak jatuh saja sulit, apalagi untuk berpikir jernih tentu tidak akan mudah.

Dalam kondisi yang demikian, mereka yang tidak tahan akan cenderung lari dari kenyataan. Hal pertama kali yang dituju mereka adalah hiburan. Hiburan ibarat oase di padang pasir yang gersang, dia memberikan setitik embun dalam kehausan. Di dalamnya terdapat bermacam-macam hiburan yang bersifat baik dan buruk. Yang baik adalah ketika seseorang bisa mengendalikan diri, akan menjadi baik ketika semua orang dengan latar belakang berbeda berkumpul.

Pertama-tama mungkin hanya karena ditawarkan padanya rokok, tetapi pada tahap selanjutnya, bisa lari pada miras. Pertama diberikan gratis, ketika sudah kecanduan maka berubah menjadi iuran, hingga akhirnya dia harus membeli sendiri ketika ingin meminumnya. Hal terburuk adalah ketika dia sudah tidak merasakan kenbikmatan pada miras, maka dia akan berlari pada narkoba.

Sungguh sangat sayang ketika kebiasaan minum miras ini terus berlanjut. Karena penyebab minum miras rata-rata ingin melupakan sejenak masalah yang sedang dihadapi. Tidak kuat menahan tekanan hidup yang kian berat dan kompetitif. Apalagi, kebutuhan ekonomi kian meningkat seiring dengan meningkatnya standar kebutuhan hidup. Kebutuhan yang dulu bersifat tersier menjadi sekunder, dan yang sekunder sudah beralih menjadi kebutuhan primer. Tentu saja hal ini tak bisa ditolak, karena kenaikan ini adalah kepastian.

Pemberantasan tidak bisa dilakukan oleh perseorangan karena miras bukanlah masalah individu, tetapi komunitas di dalam masyarakat. Kebiasaan ini muncul karena adanya persamaan keinginan yang mendapatkan media dalam pelampiasannya. Ketika masyarakat sudah tergerak untuk memberikan nilai tentang betapa penting dan gentingnya masalah ini, maka kita sudah memiliki satu modal berharga.

Berbeda ketika masyarakat pun tidak merasa terganggu dengan kebiasaan mengkonsumsi miras. Masyarakat yang seperti ini tak akan dapat memenangi perang melawan miras. Padahal, miras adalah bukti nyata salah satu media perusak masyarakat. Karena ketika masyarakatnya tidak bisa berpikir dengan jernih, maka mereka akan mudah terombang-ambingkan oleh kepentingan orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Secara nasional, penyakit masyarakat ini akan melemahkan kesadaran bangsa akan pentingnya berpikir untuk negeri. Dalam tatanan sederhana adalah berpikir untuk lingkungan dan masyarakat sekitarnya. Bahwa di samping kita adalah mahkluk individual, kita juga mahkluk sosial. Manusia membutuhkan masyarakat untuk berinteraksi, memenuhi kebutuhan dan saling memahami dalam kehidupan.

Para pecandu miras tidak dapat kita sudutkan atau kucilkan dalam lingkup kecil masyarakat. Mereka sebenarnya membutuhkan bantuan kita sebagai orang-orang yang sadar dan mengetahui tentang ancaman dan bahaya mengkonsumsi miras. Bahwa miras akan merusak seluruh tatanan kehidupan masyarakat. Meskipun kelihatannya hal sepele, tetapi jika tidak diperhatikan, miras bisa menghancurkan bangsa. Apalagi sasaran utama adalah para pemuda yang masih dalam pencarian mencari jati diri. Mereka sangat rentan sebagai sasaran empuk penyakit masyarakat ini.

Betapa mengerikan jika generasi muda telah terkontaminasi kebiasaan mengkonsumsi miras. Generasi penerus bangsa kita tidak akan ada yang sehat. Mereka tidak bisa menjadi pemimpin yang baik ketika pikirannya telah terkontaminasi. Dalam masyarakat, miras memicu kericuhan dan menaiknya emosi dalam berbagai kesempatan. Sehingga, efek ini akan mengancam keberlangsungan komunikasi dalam memecahkan masyarakat.

Sudah saatnya kita semua bangkit dari pemikiran yang mengatakan bahwa miras di sekitar kita adalah berbahaya. Dia dapat menyebabkan kematian, dalam banyak kasus menyebabkan berpikir menjadi menurun. Sehingga dapat mengurangi kualitas masyarakat dalam memajukan wilayahnya untuk membangun bangsa.

Masyarakat yang berkomitmen tinggi untuk menyatakan perang terhadap perang sudah sangat dibutuhkan. Pernyataan perang melawan miras adalah salah satu bukti bahwa kita masih memiliki simpati dan kepedulian pada masyarakat kita sendiri. Sehingga, kita tidak akan melihat lagi korban bergelimpangan hanya karena menenggak miras. Pelampiasan dalam mencari hiburan yang salah, akan menyebabkan hidup menjadi sengsara. Wallahu a’lam.

Isdiyono, Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta
Bergiat di Trans-f UNY

*Termuat di Koran Merapi edisi Rabu pon 22 September 2010

Minggu, 12 September 2010

Di Ujung Ramadhan, Ada Kemenangan


Ramadhan kali ini terasa sangat spesial, momen-momen spesial seolah tidak berhenti mengiringinya. Momen paling bersejarah tentu saja adalah ketika kemerdekaan tahun ini diadakan pada saat bulan Ramadhan. Fakta ini mengingatkan kita pada saat 65 tahun yang lalu, momen kemerdekaan juga bertepatan dengan hari Jumat Legi, 17 Agustus 1945. Setelah 65 tahun berlalu sudah, adakah perbedaan yang telah terjadi dan menjadi ciri khas kedua momen ini?
Dari beberapa alasan, hal paling berkesan adalah kenyataan bahwa dalam kemerdekaan ini ada dua peperangan dan ada dua kemenangan. Peperangan pertama hanya bisa kita ingat melalui beberapa potongan foto, cuplikan gambar perang atau sisa-sisa peninggalan yang masih tersisa. Meski kebanyakan dari kita terlahir jauh setelah peperangan itu berakhir, tetapi kedahsyatan perang terlihat dari sisa-sisa perang yang telah menjadi puing dan tersimpan di museum.
Perang yang menggetarkan jiwa ketika kita mendengar kisahnya itu bukanlah tanpa alasan. Ketertindasan, kesengsaraan dan kemelaratan menjadi latar pergerakan bangsa menuju kemerdekaan. Kemerdekaan yang didambakan itu bukanlah ahdiah atau titipan, tetapi perjuangan seluruh rakyat. Karena sejarah ditulis dengan darah rakyat Indonesia dan dituliskan dengan tinta para kuli tinta. Jika tak ada dua hal ini, maka tak ada yang tahu bahwa kita pernah dijajah oleh bangsa lain.
Jas Merah, satu frase yang pernah diucapkan oleh Proklamator bangsa pada tahun 1964. Sungguh menggelora ketika pesan untuk selalu menjaga sejarah itu diucapkan. Bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Nyawa bukan apa-apa jika dibandingkan dengan kemerdekaan. Begitu indahnya kata merdeka, hingga mereka rela kehilangan nyawa daripada kehilangan harga diri.
Namun, jelas sekali berbeda ketika kita bandingkan dengan keadaan di zaman sekarang. Sejarah perlahan mulai dilupakan dengan makin banyaknya hiburan yang mudah diperoleh anak-anak. Karena keadaan damai inilah, mereka enggan untuk mempelajarri dan memahami arti perjuangan 45. Bahwa kita tak akan pernah merasakan segarnya udara kebebasan seandainya saja dulu tak ada darah yang tertumpah. Jadi, sebagai orang yang berdarah merah dan bertulang putih, sudah seharusnya kita berubah. Kita harus menajamkan warna merah kita, serta membimbing Garuda-Garuda kecil dalam memahami bangsa secara sederhana. Karena kejayaan bangsa bukan untuk satu generasi saja, tetapi diwariskan dan ditingkatkan.
Dalam kesempatan yang lain, Soekarno pernah berpesan pada kita semua,”Perjuanganku mudah karena melawan penjajah, tetapi perjuanganmu akan sulit karena musuhmu adalah dirimu sendiri.” Dalam kata-kata ini, tersirat bahwa musuh kita sebagai generasi pewaris angkatan 45 adalah diri sendiri. Pengendalian diri adalah satu kunci agar pendirian kita tetap teguh. Tidak mudah menggadaikan harga diri bangsa hanya demi beberapa iming-iming saja.
Pengendalian diri ini terdapat dalam konsep puasa di bulan Ramadhan. Bahwa yang membuat perjuangan menjadi sia-sia adalah dua hal yaitu hawa dan nafsu. Kedua kata kunci ini begitu erat kaitannya dalam perjuangan bangsa saat ini. Kenapa bangsa ini selalu saja dirundung masalah sepele terkait kebutuhan perut dan bawah perut? Kedua hal ini bisa dijadikan alasan. Bukan karena istilahnya, tetapi karena para pelakunya tidak dapat mengendalikannya.
Ramadhan adalah momen yang tepat untuk memperbaiki kemampuan kita dalam mengendalikan diri. Bahwa kita tidak perlu menjadi orang besar dulu ketika kita belajar menahan hawa dan nafsu. Karena kedua hal ini adalah sebuah fitrah bagi manusia. Nikmat yang akan memberikan manfaat tiada tara ketika kita bisa mengendalikan dan memanfaatkannya secara benar.
Begitu mulianya bulan ini, sehingga orang berlomba-lomba untuk memanfaatkan momen Ramadhan dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat. Bulan Ramadhan adalah bulan yang kita tidak akan pernah rugi ketika memutuskan untuk berubah menjadi orang yang lebih baik. Karena setiap amalan yang dilakukan akan dihitung berlipat dari hari-hari biasa. Bahkan, setiap nafas yang berhembus dari seorang yang menjalankan ibadah puasa pun niscaya akan mendapatkan pahala.
Dan, begitu indah dan nikmatnya ketika kita selalu berusaha untuk memperbaiki diri di bulan Ramadhan ini. Karena di ujung perjuangan ini ada sebuah kemerdekaan. Sebuah cita-cita yang kita tidak akan pernah tahu apakah kita bias mendapatkannya. Bahwa kemenangan adalah cita-cita setiap orang yang menjalankan puasa. Pengendalian diri akan memperkokoh jiwa seseorang. Kekokohan jiwa seseorang ini akan terakumulasi dalam tataran yang lebih lusa menjadi sebuah ketahanan jiwa nasional. Sehingga, kemerdekaan yang kita raih tidak hanya kemerdekaan fisik saja, tetapi juga kemerdekaan jiwa. Wallahu a’lam.

Isdiyono, Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta