Formulasi UN, Ujian Komitmen Guru
Selama beberapa tahun belakangan ini, pelaksanaan Ujian Nasional (UN) terus mendapatkan kritikan. Baik yang ditujukan pada pelaksanaan maupun dari segi kebijakannya yang tidak adil. Pelaksanaan yang penuh dengan praktik contek-mencontek dan kecurangan lainnya, membuat UN dianggap tidak kredibel dalam segi manajemen pelaksanaan. Penetapan UN sebagai faktor penentu kelulusan dianggap memberatkan karena seolah tidak menghargai proses belajar yang telah ditempuh oleh siswa selama tiga tahun.
Padahal, selama proses pembelajaran tersebut, mereka harus merelakan hampir setengah dari waktu produktif di sekolah. Selama itu pula, telah banyak biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhannya. Bukankah tidak adil, ketika mereka dinyatakan tidak lulus dalam ujian nasional?
Memang, ujian perbaikan, ulangan atau susulan selalu dilaksanakan, tetapi prestisnya selalu lebih rendah daripada lulus ujian nasional. Ujian susulan selalu diidentikkan dengan ujian ‘rasa kasihan’. Sehingga, semangat mengikuti ujian susulan selalu lebih rendah daripada UN. Penurunan semangat siswa yang tidak lulus, biasanya berimbas pada keyakinan siswa bahwa sekolah bisa merubah pola pikir, utamanya mengubah masa depan mereka.
Akhirnya, perjuangan masyarakat untuk menuntut pelaksanaan UN yang lebih baik sedikit mendapatkan titik terang. Mulai tahun ini, utamanya SD dan SMP, UN tidak lagi sebagai penentu kelulusan siswa (KR, 4/01). Dengan kata lain, beban psikologis siswa akan berkurang setelah mendengar pernyataan dari mendiknas. Apalagi, kalau implementasinya nanti benar-benar sesuai dengan amanat mendiknas dalam merevolusi pelaksanaan UN.
Wacana formulasi UN yang menggunakan nilai rapor sebagai pertimbangan kelulusan siswa, tidak serta-merta memberikan efek yang positif. Ada beberapa hal yang perlu dicermati dalam peralihan formulasi UN yang sedang digodok kemendiknas ini. Di antaranya adalah peran guru dalam pelaksanaan UN.
Dengan pertimbangan nilai rapor, maka kebijakan kelulusan UN sebagaian besar berada di pundak guru. Beban guru sebagai pendidik semakin berat terkait dengan komitmen dalam memajukan pendidikan di Indonesia. Sebagai garda terdepan, guru akan mendapatkan banyak tekanan, utamanya dari orang tua siswa ataupun masyarakat. Apalagi, guru tidak akan mampu untuk mencantumkan hokum ke dalam peraturan sekolah. Karena pendidikan bertujuan untuk mendidik, bukan untuk mengintervensi secara total sistem pendidikan.
Dalam hal ini, guru harus memiliki strategi dalam menghadapi berbagai kemungkinan intervensi maupun suap terkait dengan kelulusan siswa. Meski kita percaya kepada guru-guru kita yang saat ini sedang mengajar, tetapi hal ini perlu diperhatikan. Sebagai langkah preventif campur tangan orang luar dan penurunan kualitas output pendidikan karena siswa tidak lagi merasa tertantang untuk mendapatkan hasil maksimal dalam pelaksanaan UN.
Formulasi UN baru ini pada intinya bertujuan untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Sudah saatnya semua pihak yang terkait dengan pendidikan (guru, pengambil kebijakan, siswa dan masyarakat) untuk berkomitmen terhadap kualitas pendidikan nasional. Sangat menarik ditunggu, kiprah guru dalam menjaga kualitas pendidikan dengan komitmen dalam kebijakan kelulusan siswa.
Isdiyono, Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta
Bisa juga dibaca di Kedaulatan Rakyat edisi Sabtu, 15 Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagi yang mengkopi, Tinggalkan Koment ya...makasih. Hehe