Sabtu, 19 Maret 2011

Antara Bencana, Usaha dan Do’a


Jum’at (10/03) lalu, Jepang diterjang gempa bumi sebesar 8.9 SR yang diikuti dengan gelombang tsunami yang dahsyat. Sebagai negara yang maju, peralatan peringatan dini ancaman bencana mereka tidak perlu diragukan lagi. Faktanya, masih banyak korban yang berjatuhan. Artinya, kekuatan alam memang tidak bisa dilawan, bahkan dengan teknologi yang canggih sekalipun.
Berkaca pada kejadian tersebut, sebagai negara yang terletak pada jalur pegunungan api dunia, Indonesia juga harus bersiap-siap. Bencana bisa datang kapan saja dan di mana saja. Seperti contohnya, tsunami di Aceh 2002, gempa bumi di Yogyakarta dan Lumpur panas Sidoarjo 2006, dan yang belum lama, meletusnya Merapi pada penghujung tahun 2010 lalu. Bencana tidak bisa diprediksi kapan datangnya, manusia hanya bisa memperkirakan dan mencegah jatuhnya banyak korban.
Bagi masyarakat Indonesia, berita duka dialamatkan untuk masyarakat Jepang yang selama ini membantu rekonstruksi ulang berbagai bencana di Indonesia. Sekaligus direfleksikan sebagai sebuah pelajaran penting dalam menghadapi bencana serupa di masa mendatang. Dalam hal ini, permasalahan pengetahuan tentang bencana lebih kompleks di Indonesia.
Di Jepang, meski nilai-nilai tradisional dilestarikan tetapi nilai modernisasi menghiasi setiap aktivitas harian. Sedangkan di Indonesia, modernisasi belum sepenuhnya berjalan setiap hari. Nilai tradisional yang berbau mistis dan  takhayul masih menghiasi keseharian. Sehingga, sangat sulit untuk meyakinkan pada masyarakat kita tentang mitigasi bencana.
Perlunya pengetahuan mitigasi adalah untuk mencegah jatuhnya korban dalam skala banyak. Karena ketidaktahuan, atau karena terlalu percaya pada hal-hal yang bersifat di luar nalar manusia. Karena kita tahu sendiri, bahwa kehendak Alloh itu tidak bisa dilawan. Baik dengan kekuatan supranatural, ataupun dengan kekuatan teknologi. Karena pada dasarnya, semua yang ada di dunia ini adalah terjadi karena-Nya. Sehingga, tak ada yang tidak mungkin terjadi pada manusia yang lemah dan penuh dosa.
Bisa jadi, bencana yang terjadi selama ini adalah wujud kasih sayang-Nya  kepada kita. Karena kita lalai, jadi Dia mengingatkan kita dengan kekuasaan-Nya. Mungkin, karena manusia sudah terlalu tidak peduli dengan tanda-tanda, sehingga bencana yang terjadi pun semakin besar.
Maka, sudah saatnya kita berpikir secara nalar dan reilijus. Nalar dengan usaha pencegahan dan antisipasi tindakan ketika dan pasca terjadi bencana. Karena ketika bencana terjadi di suatu tempat, maka takkan ada yang bisa menghindarinya. Manusia harus menghadapi, bagaimana berbuat yang terbaik untuk menyelamatkan diri sendiri dan orang lain di sekitarnya. Manusia tidak bisa hidup sendiri, manusia membutuhkan manusia lain untuk hidup.
Nilai-nilai sosial tampak kentara ketika manusia disudutkan pada satu kondisi yang sama, sama-sama tertekan. Emosional, kekeluargaan dan kebersamaan dalam satu nasib sungguh sangat teguh. Berbeda ketika kondisi damai, manusia lebih suka berpecah belah, suka membuat kekacauan dan hal-hal yang tidak penting lainnya.
Bayangkan, seandainya kondisi dengan nuansa kebersamaan sebagai satu nasib diterapkan dalam kehidupan damai. Tentu Indonesia akan menjadi negara yang maju dan cepat meningkat perkembangan ilmu dan teknologinya. Sehingga, pengetahuan tentang bencana yang mengancam kapan saja, bisa diminimalisir semaksimal mungkin. Tidak sekedar dengan ilmu ‘titen’ atau perhitungan kebiasaan. Karena kebiasaan tidak selalu bisa terulang, tanda-tanda alamlah yang dengan tepat telah memberikan sinyalnya. 
Pengalaman adalah guru yang sangat berharga, sungguh sayang jika pengalaman tersebut hanya menjadi angin lalu. Sebagai negara yang dilalui tiga jalur gempa dunia. Eurasia, Kaukasus dan Pasifik, sudah sepantasnya kita antisipasi dan mempersiapkan diri untuk pencegahan terjadinya banyak korban. Sosialisasi menyeluruh kepada masyarakat, terutama masyarakat pedesaan adalah sebuah kewajiban. Karena pengetahuan yang minim dan kepercayaan pada takhayul yang tinggi, tak jarang kedua faktor ini menghambat evakuasi daerah bahaya dengan status awas.
Manusia wajib berusaha sedangkan hasil akhir adalah milik-Nya. Tak ada yang melebihi kekuasaan-Nya atas alam semesta. Sehingga, amat sombonglah jika kita selalu menganggap bahwa semua yang ada di dunia ini berada di bawah kekuasaan kita. Sehingga, kita semena-mena terhadap orang lain, terhadap alam dan terhadap mahkluk hidup lainnya. Mari kita renungi bencana ini sebagai pelajaran yang berharga untuk berusaha membekali diri dengan keterampilan mitigasi, serta selalu mengingat-Nya. Wallahu a’lam.

Isdiyono, Aktivis Gapura
Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta

2 komentar:

  1. Hwei... masih baru ya Pak Guru?

    semoga cita2 Anda tercapai dan mendapatkan kelancaran. Amin.

    BalasHapus
  2. Hiya, sekitar setahun...tapi tak begitu ahli sih... Hehe...

    BalasHapus

Bagi yang mengkopi, Tinggalkan Koment ya...makasih. Hehe