Sabtu, 20 Maret 2010

Beasiswa Untuk Mencegah Putus Sekolah

Pada waktu kesejahteraan perekonomian masyarakat sudah meningkat seperti sekarang ini, masih saja banyak masyarakat kurang mampu. Jumlahnya pun masih banyak, seperti yang dapat kita lihat di pemukiman kumuh, di tepi-tepi sungai, di pedesaan atau bahkan dapat kita jumpai di tepi rel-rel kereta api. Sungguh sangat ironis dan kontras dengan alam Indonesia yang menjanjikan banyak sekali kekayaan alam.
Salah satu cara untuk mengurangi kondisi ini adalah dengan pendidikan. Selama ini, pendidikan masih dipandang sebagai langkah ajaib untuk mengubah nasib. Bagaimana ilmu pengetahuan dan keahlian dapat meningkatkan pemikiran. Melalui pemikiran dan pengembangan keterampilan, maka seseorang dapat memperbaiki taraf hidupnya.
Sayangnya, untuk mendapatkan pendidikan yang layak pun, masyarakat miskin masih kesulitan. Mereka masih sulit untuk menyekolahkan anaknya pada sekolah-sekolah yang berkualitas karena terbentur biaya. Sekolah selalu saja memiliki alas an untuk menaikkan biaya sekolah melalui penerimaan siswa, iuran, pengadaan buku hingga penarikan sumbangan yang besarnya tidak tanggung-tanggung.
Memang, untuk masyarakat yang berlebihan biaya sekolah tidak ada apa-apanya dengan pendapatan mereka. Tetapi, korban sesungguhnya adalah masyarakat miskin yang sangat membutuhkan untuk memperbaiki tingkat keilmuannya. UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 telah mengamanatkan bahwa ciri-ciri pendidikan Indonesia adalah demokratis, adil dan tidak diskriminatif.
Sayangnya, ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada masyarakat lemah, sekolah pun tidak kurang akal untuk mengeksploitasi siswa. Misalnya saja dengan menaikkan anggaran, berlomba-lomba meningkatkan akreditasi sekolah-misal Internasional- hingga melaksanakan kegiatan piknik. Berbagai kebijakan itu pun tidak terlepas dari label wajib. Kalau sudah begini, masyarakat ekonomi lemah tinggal menunggu keajaiban agar anak-anaknya bisa mendapatkan pendidikan yang setinggi-tingginya.
Untuk menanggulangi putus sekolah, pemerintah pun telah mengeluarkan beberapa kebijakan. Namun, tidak jarang pula kebijakan tersebut menjadi bumerang yang mendiskriminasikan masyarakat kecil. Sebut saja dengan pengadaan kuota siswa KMS (Kartu Menuju Sejahtera). Memang, sekilas terlihat bahwa pemerintah dan sekolah menyediakan kuota siswa ber-KMS agar dapat masuk ke sekolah dengan mutu baik. Tetapi, pelayanan yang didapat tidak seperti siswa yang lain. Profesor Djohar, Rektor UST mengatakan bahwa siswa ber-KMS masih saja dianggap sebagai anak yang tak pandai, nakal dan tidak tertib (Harjo, 07 Januari 2009)
Di DIY, angka siswa yang terancama putus sekolah (retrieval) masih cukup memprihatinkan. DiNAS Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Dikpora, Januari 2009), menyatakan ada sedikitnya 3200 siswa SMA/SMK, 500 orang siswa SMP dan 440 siswa SD. Jumlah ini adalah data tahun lalu ditambahkan dengan data siswa yang terancam putus sekolah. Hal ini sungguh memprihatinkan mengingat Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar.
Untuk mencegah putus sekolah, nampaknya kebijakan pemberian atau peningkatan penerima beasiswa harus ditingkatkan. Beasiswa masih dapat kita pandang sebagai sebuah kebijakan yang mendewasakan. Logikanya adalah bahwa penerima beasiswa tidak terikat oleh peraturan-peraturan yang mensyaratkan. Dengan prinsip ini, maka siswa secara tidak langsung juga dididik agar cermat dan pandai dalam mempergunakan beasiswanya.
Kebijakan pun kemudian diambil sebagai langkah antisipatif. Pada tahun 2010 ini, Dikpora mengalokasikan Rp 5, 92 miliar rupiah untuk mengatasi siswa putus sekolah. Kebijakan ini ibarat angin segar, dapat memperpanjang napas anak-anak untuk dapat mengenyam pendidikan setinggi-tingginya dan seadil-adilnya.
Beasiswa bisa meringankan tuntutan siswa dalam pembiayaan sekolahnya. Minimal untuk membayar iuran wajib per bulan yang harus dibayar. Dengan demikian, siswa kurang mampu dapat sedikit bernapas lega. Setidaknya mereka masih bias bermimpi untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya. Sehingga tidak ada alas an lagi bagi putra-putra terbaik bangsa ini untuk maju.
Tentu saja tujuan jaring pengaman sosial ini dapat dilaksanakan dengan baik dan tepat sasaran. Sudah menjadi rahasia umum jika setiap ada kebijakan mengenai dana, pasti banyak mata-mata yang tergoda. Kejujuran dan system yang baik akan membuat kebijakan ini tepat sasaran. Bagaimanapun, pada masa-masa yang lalu kebijakan masih saja banyak yang tidak tepat sasaran.
Komitmen berbagai pihak untuk menyalurkan beasiswa secara cepat dan tepat akan mencegah siswa putus sekolah. Pentingnya sikap ini adalah untuk kemajuan pendidikan juga, karena bagaimanapun pendidikan bisa mengubah nasib bangsa kita ini. Tidak hanya sebagai bangsa yang diskriminatif, yang mementingkan kekuatan finansial dalam mencetak pendidikan yang berkualitas, tetapi menciptakan pendidikan yang merata.Bukankah bangsa ini tidak sendirian ?

Isdiyono, Bergiat di Gapura Trans-F UNY
Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta

Kamis, 18 Maret 2010

Menggugat Pergantian Kurikulum


Pendidikan kita disusun dalam sebuah sistem yang dijalankan untuk  mewujudkan sebuah cita-cita pendidikan nasional. Sistem inilah  yang kita sebut sebagai kurikulum. Sistem nasional ini diturunkan sebagai rancangan pembelajaran di lembaga formal sebagai sebuah pegangan seorang pendidik di lembaga formal dalam mengajar.
Kurikulum sebagai patokan dalam pembelajaran memiliki makna yang sangat vital bagi kesuksesan tujuan pendidikan. Namun, sesuai dengan prinsip dinamis, pendidikan akan selalu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendidikan tidak hanya mencakup nilai-nilai keabsahan teori saja, tetapi harus menyentuh ranah praktis.
Perubahan kurikulum memiliki dua arti yang berbeda dan bertolak belakang. Di satu sisi, perubahan kurikulum dianggap sebagai bagian dari perbaikan pendidikan kita. Pendidikan dituntut untuk menyesuaikan diri dengan tingkat perkembangan peradaban manusia yang semakin maju. Akan tetapi, terlalu seringnya kurikulum berubah menandakan bahwa sistem pendidikan kita masih memiliki banyak masalah. Kurikulum yang bergonta-ganti menimbulkan berbagai pertanyaan, ada apa dengan pendidikan kita ini ?
Tidak hanya di tingkat dasar dan menengah, kurikulum telah mengimbas sistem pendidikan di perguruan tinggi. Sama seperti pada pelaksanaan di tingkat pendidikan dasar dan menengah, kurikulum perkuliahan di perguruan tinggi juga bernasib yang tidak berbeda. Karena belum siap diterapkan, perubahan kurikulum yang dijadwalkan setiap lima tahun sekali menjadi molor dua tahun.
Sebenarnya, kurikulum baru di perguruan tinggi adalah pada tahun 2007. Namun, karena kurangnya kesiapan para praktisi di perguruan tinggi dalam melaksanakan kurikulum baru, akhirnya perubahan ini tertunda. Dampaknya sangat besar terkait dengan mata kuliah yang ditawarkan. Ganti kurikulum, berarti berganti pula dengan sistem perkuliahan yang harus diikuti oleh mahasiswa.
Perubahan ini menyulitkan mahasiswa yang ingin mengulang mata kuliah yang belum tuntas. Mahasiswa tingkat atas tidak lagi bisa mengulang mata kuliah di semester bawahnya. Akibatnya, mahasiswa harus menerima hasil perkuliahan yang telah dicapainya. Setidaknya, perubahan ini seolah tidak memberikan mahasiswa untuk memperbaiki kompetensi yang telah dicapainya.
Terkait dengan perubahan ini, ada beberapa mata kuliah yang dihilangkan, digabung dan ada juga yang dipisahkan. Memang, pendidikan yang baik adalah yang bisa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan mobilisasi manusia dalam beraktivitas. Pendidikan yang tidak dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata adalah omong kosong.
Pendidikan sudah seharusnya bias berafiliasi dengan dunia nyata, masyarakat. Bahwa sesuai dengan kodratnya, manusia memiliki dualisme peran, sebagai mahkluk individu dan sebagai mahkluk sosial. Keduanya sudah menjadi sebuah ketetapan dan memang harus dijalankan.
Pendidikan tidak bisa menjadi sebuah barang komoditi yang mudah ditambal sana, tambal sini. Karena subjek dalam pendidikan adalah manusia, bukan barang yang mudah dibuang sewaktu-waktu. Paham humanisme, memanusiakan manusia, harus dikedepankan dalam setiap detail pembelajaran di kampus. Kurikulum yang berubah tanpa disertai dengan fleksibilitas mahasiswa dalam memenuhi kebutuhan mata kuliah telah mematikan prinsip-prinsip humanisme.
Kurikulum memang harus berubah untuk meningkatkan kompetensi semua orang yang masih percaya pada sebuah lembaga bernama perguruan tinggi. Perlu adanya kebijakan yang memungkinkan mahasiswa untuk menuntaskan studinya di kampus. Kurikulum yang dipakai sebaiknya dapat fleksibel ketika mahasiswa mengambil sebuah mata kulian yang mungkin belum dituntaskan oleh seorang mahasiswa.
Isdiyono, Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta


Selasa, 16 Maret 2010

Kalau Ingin Kaya, (Jangan) Jadi Guru

Setiap orang pasti ingin kaya, mempunyai segala yang diinginkan. Namun, kenyataan selalu tidak sesuai dengan apa yang ada di dalam bayangan. Tidak ada salahnya berusaha menjadi kaya, kaya harta tetapi juga kaya hati nurani.
Agar bisa menjadi kaya, maka seseorang harus bekerja keras dan berdoa. Bekerja dengan cara-cara yang halal dan tidak merugikan orang lain. Pekerjaan yang baik adalah yang bisa menguntungkan dirinya dan orang lain di sekitarnya. Nah, tetapi ada juga profesi yang nilainya tidak bisa diukur dengan materi yaitu menjadi seorang guru.
Dari Nabi Muhammad mengatakan bahwa sembilan dari sepuluh pintu rejeki datangnya dari perniagaan. Nah, pekerjaan guru tidak bisa disamakan dengan perniagaan. Menjadi guru adalah panggilan jiwa, ketulusan dan keihklasan adalah kunci dasar menjadi seorang guru yang benar-benar guru.
Kalau kata John F. Kennedi, berilah sebanyak-banyaknya untuk negaramu tetapi jangan harapkan apa-apa dari negaramu. Begitulah seorang guru seharusnya, memperjuangkan profesinya secara terhormat. Sungguh tidak akan nyambung ketika seseorang ingin menjadi kaya, tetapi mengabdi sebagai guru.
Pada saat ini saja, gaji guru masih dianggap rendah. Bahkan lebih rendah daripada pekerjaan wiraswasta. Dengan profesinya, guru tidak akan bisa menjadi kaya kecuali kalau dia mempunyai keahlian atau pekerjaan sampingan.
Namun, kita sedikit mengelus dada ketika guru-guru merasa tidak diperhatikan. Ujung-ujungnya adalah melakukan aksi menggeruduk kantor dewan. Tindakan ini tidak salah, tetapi kurang tepat karena mereka meninggalkan muridnya terlantar tanpa ada yang mengajari mereka. Tak ada yang mengajari cara menghitung angka, merangkai kalimat, menyusun kegiatan atau merencanakan masa depan.
Di sisi lain, memang sebagai sebuah profesi, guru berhak mendapatkan gaji yang layak sesuai dengan kompetensi profesionalnya. Jadi, guru yang belum dapat membuktikan dirinya kompeten dengan ijasah tidak memiliki kewenangan untuk menuntut. Padahal, masih banyak juga guru yang belum memenuhi kualifikasi akademik. Kalaupun harus mengejar kualifikasi, umur sudah tidak mendukung. Jika diukur dengan masa bakti, jelas-jelas mereka seharusnya mendapatkan haknya.
Menjadi guru memang harus siap seratus persen menerjunkan dirinya dalam dunia anak. Perkembangan mental, kognitif, afektif dan spiritual anak adalah kewajiban seorang guru. Dengan segala sarana dan prasarana yang ada, seorang guru dituntut untuk memaksimalkan potensi anak. Hal ini sesuai dengan hakekat pendidikan yaitu memunculkan nilai-nilai baik yang dimiliki oleh anak untuk menghadapi kehidupannya.
Carut marut yang terjadi dalam pendidikan, khususnya pendidikan dasar, memiliki implikasi yang sangat besar. Di sinilah potensi dan kepribadian anak dibentuk. Mereka dididik agar potensi baik yang dimilikinya dapat muncul, tidak seperti di pendidikan menengah atau bahkan di pendidikan tinggi.
Seorang guru harus siap dengan segala resikonya, tetapi yang tidak boleh ditinggalkan adalah kewajiban dalam menjaga nama baik profesinya. Karena anak-anak sangat membutuhkan seorang guru untuk membimbing, mengajar, mendidiknya untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan.
Maka, tidak heran kalau tidak semua orang bisa menjadi seorang guru. Guru yang tidak hanya bisa menuntut haknya dan sekedar menjalankan kewajibannya, tetapi menjalankan profesinya dengan penuh rasa hormat. Seorang guru yang tidak sudi menukar seragamnya dengan segepok rupiah.