Pada waktu kesejahteraan perekonomian masyarakat sudah meningkat seperti sekarang ini, masih saja banyak masyarakat kurang mampu. Jumlahnya pun masih banyak, seperti yang dapat kita lihat di pemukiman kumuh, di tepi-tepi sungai, di pedesaan atau bahkan dapat kita jumpai di tepi rel-rel kereta api. Sungguh sangat ironis dan kontras dengan alam Indonesia yang menjanjikan banyak sekali kekayaan alam.
Salah satu cara untuk mengurangi kondisi ini adalah dengan pendidikan. Selama ini, pendidikan masih dipandang sebagai langkah ajaib untuk mengubah nasib. Bagaimana ilmu pengetahuan dan keahlian dapat meningkatkan pemikiran. Melalui pemikiran dan pengembangan keterampilan, maka seseorang dapat memperbaiki taraf hidupnya.
Sayangnya, untuk mendapatkan pendidikan yang layak pun, masyarakat miskin masih kesulitan. Mereka masih sulit untuk menyekolahkan anaknya pada sekolah-sekolah yang berkualitas karena terbentur biaya. Sekolah selalu saja memiliki alas an untuk menaikkan biaya sekolah melalui penerimaan siswa, iuran, pengadaan buku hingga penarikan sumbangan yang besarnya tidak tanggung-tanggung.
Memang, untuk masyarakat yang berlebihan biaya sekolah tidak ada apa-apanya dengan pendapatan mereka. Tetapi, korban sesungguhnya adalah masyarakat miskin yang sangat membutuhkan untuk memperbaiki tingkat keilmuannya. UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 telah mengamanatkan bahwa ciri-ciri pendidikan Indonesia adalah demokratis, adil dan tidak diskriminatif.
Sayangnya, ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada masyarakat lemah, sekolah pun tidak kurang akal untuk mengeksploitasi siswa. Misalnya saja dengan menaikkan anggaran, berlomba-lomba meningkatkan akreditasi sekolah-misal Internasional- hingga melaksanakan kegiatan piknik. Berbagai kebijakan itu pun tidak terlepas dari label wajib. Kalau sudah begini, masyarakat ekonomi lemah tinggal menunggu keajaiban agar anak-anaknya bisa mendapatkan pendidikan yang setinggi-tingginya.
Untuk menanggulangi putus sekolah, pemerintah pun telah mengeluarkan beberapa kebijakan. Namun, tidak jarang pula kebijakan tersebut menjadi bumerang yang mendiskriminasikan masyarakat kecil. Sebut saja dengan pengadaan kuota siswa KMS (Kartu Menuju Sejahtera). Memang, sekilas terlihat bahwa pemerintah dan sekolah menyediakan kuota siswa ber-KMS agar dapat masuk ke sekolah dengan mutu baik. Tetapi, pelayanan yang didapat tidak seperti siswa yang lain. Profesor Djohar, Rektor UST mengatakan bahwa siswa ber-KMS masih saja dianggap sebagai anak yang tak pandai, nakal dan tidak tertib (Harjo, 07 Januari 2009)
Di DIY, angka siswa yang terancama putus sekolah (retrieval) masih cukup memprihatinkan. DiNAS Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Dikpora, Januari 2009), menyatakan ada sedikitnya 3200 siswa SMA/SMK, 500 orang siswa SMP dan 440 siswa SD. Jumlah ini adalah data tahun lalu ditambahkan dengan data siswa yang terancam putus sekolah. Hal ini sungguh memprihatinkan mengingat Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar.
Untuk mencegah putus sekolah, nampaknya kebijakan pemberian atau peningkatan penerima beasiswa harus ditingkatkan. Beasiswa masih dapat kita pandang sebagai sebuah kebijakan yang mendewasakan. Logikanya adalah bahwa penerima beasiswa tidak terikat oleh peraturan-peraturan yang mensyaratkan. Dengan prinsip ini, maka siswa secara tidak langsung juga dididik agar cermat dan pandai dalam mempergunakan beasiswanya.
Kebijakan pun kemudian diambil sebagai langkah antisipatif. Pada tahun 2010 ini, Dikpora mengalokasikan Rp 5, 92 miliar rupiah untuk mengatasi siswa putus sekolah. Kebijakan ini ibarat angin segar, dapat memperpanjang napas anak-anak untuk dapat mengenyam pendidikan setinggi-tingginya dan seadil-adilnya.
Beasiswa bisa meringankan tuntutan siswa dalam pembiayaan sekolahnya. Minimal untuk membayar iuran wajib per bulan yang harus dibayar. Dengan demikian, siswa kurang mampu dapat sedikit bernapas lega. Setidaknya mereka masih bias bermimpi untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya. Sehingga tidak ada alas an lagi bagi putra-putra terbaik bangsa ini untuk maju.
Tentu saja tujuan jaring pengaman sosial ini dapat dilaksanakan dengan baik dan tepat sasaran. Sudah menjadi rahasia umum jika setiap ada kebijakan mengenai dana, pasti banyak mata-mata yang tergoda. Kejujuran dan system yang baik akan membuat kebijakan ini tepat sasaran. Bagaimanapun, pada masa-masa yang lalu kebijakan masih saja banyak yang tidak tepat sasaran.
Komitmen berbagai pihak untuk menyalurkan beasiswa secara cepat dan tepat akan mencegah siswa putus sekolah. Pentingnya sikap ini adalah untuk kemajuan pendidikan juga, karena bagaimanapun pendidikan bisa mengubah nasib bangsa kita ini. Tidak hanya sebagai bangsa yang diskriminatif, yang mementingkan kekuatan finansial dalam mencetak pendidikan yang berkualitas, tetapi menciptakan pendidikan yang merata.Bukankah bangsa ini tidak sendirian ?
Isdiyono, Bergiat di Gapura Trans-F UNY
Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta