Selasa, 16 Agustus 2011

Revitalisasi ‘Pengurus’ Gerakan Pramuka


 
Saat ini, pemerintah melalui kementrian olahraga, telah mendorong percepatan undang-undang yang mengatur tentang pendidikan Gerakan Pramuka. Pemerintah menganggap bahwa Gerakan Pramuka penting direvitalisasi dalam rangka membentuk jiwa nasionalis pemuda Indonesia. Sebagai gerakan kepanduan, pramuka memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam melatih ketangguhan fisik, psikis dan mental praja (anggota pramuka).
Metode pelatihan yang mengedepankan prinsip gembira dan menyenangkan, membuat pelatihan yang dilaksanakan dalam latihan kepramukaan menjadi ringan. Hal ini, seringkali yang menjadikan Pramuka sebagai gerakan “tepuk tangan” dan “menyanyi”. Dari masukan masyarakat tersebut, pemerintah menyadari pentingnya revitalisasi dalam mempertahankan nilai-nilai kepramukaan dan nasionalisme.
Dasa Dharma, sebagai panduan dasar gerakan Pramuka, memiliki peran penting dalam mewujudkan kegiatan kepramukaan yang sesuai dengan tujuannya. Dasa Dharma bisa disamakan sebagai UUD dari gerakan pramuka yang menjadi nilai dasar gerak. Tanpa landasan dasar, maka gerakan pramuka tidak akan memiliki makna apapun.
Seiring dengan perkembangan zaman, pramuka berusaha dipertahankan meski dianggap kurang relevan dengan kemajuan teknologi dan informasi. Pelaksanaannya yang membutuhkan ruang terbuka dan tempat-tempat menantang, membuat gerakan Pramuka hanya diajarkan secara teoritis di perkotaan. Padahal, tidak serumit itu, gerakan pramuka pada dasarnya dibentuk untuk memberikan bekal kepada setiap individu untuk bertahan hidup di manapun ia berada.
Kalau kita lihat lebih jauh, sejarah panjang gerakan Pandu Pramuka ini dibentuk melalui proses panjang secara nasional. Kepanduan dibentuk untuk memfasilitasi gerakan-gerakan kepemudaan yang bermunculan pada masa-masa kemerdekaan dan pasca-kemerdekaan. Para pemuda menyadari arti pentingnya gerakan yang bersifat nasional. Sehingga, tidak membatasi langkah gerak organisasi tersebut dari batas-batas agama, budaya atau wilayah.
Hal ini sesuai dengan semangat persatuan yang menjadi pilar dalam penyusunan Pancasila sebagai landasan Idiil bangsa. Bahwa gerakan nasional akan membentuk semangat persatuan bangsa dan nasionalisme. Bahwa dalam negara yang berbentuk kepulauan, persatuan merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar lagi. Jika jiwa persatuan tidak tertanam dengan baik, maka nasionalisme tidak akan pernah terwujud.
Seiring dengan bergantinya waktu, pramuka disyahkan sebagai satu-satunya gerakan kepanduan nasional yang diakui oleh pemerintah. Artinya, gerakan Pramuka bisa eksis karena mendapatkan dukungan dari pemerintah. Akibatnya, gerakan Pramuka memiliki hubungan yang kuat dengan pemerintah dengan menempatkan Presiden sebagai kepala majelis pembina gugus depan (Kamabigus) nasional.
Gerakan Pramuka bukan lagi sebagai gerakan yang seratus persen independent. Hal ini memungkinkan para pengurus harian gerakan pramuka di masing-masing pangkalan untuk berhubungan langsung dengan birokrasi. Artinya, gerakan Pramuka menjadi organisasi kepanduan yang didukung sepenuhnya oleh pemerintah. Baik dalam hal finansial, pembinaan maupun pengembangannya.
Dengan masuknya Pramuka dalam agenda pemerintah, maka yang paling riskan dalam mempertahankan nilai luhur Pramuka adalah kesucian pramuka. Kesucian yang dimaksud di sini adalah kebersihan Pramuka dalam melaksanakan program kerja sesuai dengan AD-ART Gerakan Pramuka. Kedekatan dengan birokrasi, memungkinkan bergulirnya aspek finansial yang besar. Maka, diperlukan pula pengelolaan yang profesional dalam pelaksanaannya.
Beberapa waktu yang lalu, diadakan sebuah kegiatan dengan skala nasional tentang pramuka dalam melestarikan budaya yang sesuai. Seorang teman menceritakan, bahwa terdapat manipulasi data terkait dengan dana transport yang diberikan kepada anggota kontingen oleh para pengurus. Dari yang seharusnya sekitar empat ratus ribu, menjadi hanya seratus delapan puluh ribu. Kejadian ini terungkap secara tidak sengaja oleh kontingen yang menyibakkan dokumen tanda terima uang transport.
Kejadian ini tentu saja mencoreng nama baik Pramuka. Sebagai person yang memegang teguh prinsip gerakan Pramuka, tentu anggota kontingen dan pembina yang mendampingi tidak bisa berbuat banyak. Dalam dasa dharma terakhir, disebutkan bahwa seorang Pramuka harus selalu suci dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. Artinya, perbuatan para pengurus pusat gerakan Pramuka telah melanggar kode etik.
Pramuka sudah tidak lagi dijadikan sebagai gerakan social dan pengkaderan generasi muda. Tetapi, berubah menjadi lahan basah korupsi yang belum terpikirkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Karena, pada dasarnya masyarakat percaya kalau anggota gerakan Pramuka tidak akan melakukan tindakan rendah tersebut.
Maka, ada baiknya bagi pemerintah untuk memperbaiki kinerja pengurus pusat Pramuka sebelum memperbaiki sistem pembinaannya. Akan sangat mengancam keberadaan dan eksistensi gerakan Pramuka, ketika Pramuka sudah beralih dari gerakan social menjadi gerakan pragmatis. Korupsi tidak boleh tumbuh dalam gerakan Pramuka, inilah yang sebenarnya menurut saya adalah tindakan pertama dalam melaksanakan revitalisasi gerakan Pramuka.

Isdiyono, Seorang Praja Pramuka

Senin, 11 April 2011

Tiga Blunder BNN


            Dalam sepakbola, kalau seorang kiper melakukan blunder maka akan dituduh sebagai orang yang paling bertanggungjawab terhadap hasil akhir. Jika masih bisa menang atau berimbang, maka tidak terlalu masalah. Yang menjadi masalah adalah ketika kiper melakukan blunder dan timnya kalah, bisa dipastikan semua orang akan menyalahkan dirinya atas kekalahan tim. Seberapa hebatnya kiper tersebut, akan berakhir karirnya ketika dia melakukan hal tersebut. Masih jelas ketika Kasper Smeichel dipercaya Mancherter City untuk mengawal gawangnya di liga Priper Inggris. Catatan clean sheet selama 6 kali beruntun berakhir ketika kemasukan 6 gol tanpa balas oleh Chelsea.
            Nampaknya, blunder-blunder pemerintah layaknya kiper tersebut tidak bisa lepas dari kehidupan sehari-hari kita.. Penanganan kasus-kasus narkoba pada saat ini bisa termasuk di dalamnya. Yang terbaru tentu saja adalah penetapan status orang-orang yang terlibat di dalam peredaran narkoba di pasaran umum. Penafsiran hukum terhadap pemakai, pengedar dan produsen yang berbedalah penyebabnya.
            Badan Narkotika Nasional (BNN) sebagai koordinator kriminalitas dan penyalahgunaan narkoba, telah melakukan tiga blunder. Dalam hal ini, ketiga blunder itu adalah penafsiran ganda terhadap hukum, tidak konsisten dengan program dan kurang memahami kepentingan publik.
            Masih jelas dalam ingatan kita, beberapa waktu yang lalu, grup band papan atas yang seharusnya terjerat pasal, malah ditetapkan sebagai ‘korban’ sehingga lepas dari jerat hukum. Sungguh aneh, karena untuk kasus-kasus sebelumnya yang sering kita tonton di televisi, setiap pengguna pun patut untuk mendapatkan hukuman sesuai dengan perbuatannya.
Yang sangat ironis adalah ditetapkannya Kepala Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, Marwan Adli, Selasa (8/3/2011) oleh aparat gabungan Kepolisian Resor Cilacap dan BNN. sebagai tersangka jaringan narkoba di sel tahanan. Apalagi, sudah menjadi rahasia umum jika para tersangka yang berduit, selalu mendapat tempat istimewa di dalam tahanan.
Berbeda halnya jika yang terkena kasus dan mendekam di dalam tahanan itu adalah orang kecil. Yang terkadang, merekalah sebenarnya korban kejahatan tersebut. Jangankan untuk membela diri, mempertahankan diri untuk hidup dalam kondisi normal sehari-hari saja sudah susah apalagi kalau mau menyewa penasihat hukum.
Kalau kasus-kasus narkoba tersebut  tidak segera diperjelas hukumnya, maka akan terjadi dampak yang sistemik di masa yang akan datang. Coba mari kita bayangkan, seandainya saja setiap orang yang memakai narkoba mengaku sebagai korban. Tentu tidak akan ada istilah ‘pengedar’, ‘produsen’ dan ‘bandar narkoba’. Yang ada hanyalah : korban. Bisa dibayangkan, ketika tidak ada kejelasan hukum tentang siapa dan ditetapkan sebagai apa dalam kasus narkoba, maka kekacauan dalam penertiban permasalahan narkoba tinggal menunggu waktu saja.
Kedua adalah ketidakkonsistenan terhadap program yang telah disusun secara sistematik. Disajikan dengan tujuan yang jelas dan ditunjukkan pada masyarakat melalui presentasi panah-panah dari power point. Bahwa pemberantasan narkoba tidak bisa dilaksanakan tanpa adanya tekad yang kuat, kebersamaan dan dilakukan secara berkesinambungan. Karena kejahatan tentang narkoba adalah kejahatan tentang sindikat dan ordernya melewati batas-batas negara.
Yang perlu dipertanyakan adalah komitmen BNN dalam menciptakan suasana hukum yang kondusif. Tidak memberikan ampunan terhadap seseorang atau sekelompok orang, tetapi tidak untuk yang lain. Karena pada dasarnya, memberantas narkoba adalah bentuk pemberantasan dengan keteladanan, tidak sekedar pengetahuan saja. Karena kita tidak akan pernah terlepas dari semua hal, baik yang positif ataupun yang negatif di dalam setiap waktu yang kita miliki.
Permasalahan ini akan selesai ketika generasi tua menghentikan pemakaian atau bahkan pendistribusian narkoba, yang didukung oleh anak-anak dalam pemberantasan dan pencegahannya. Karena ketika kata pemberantasan dan pencegahan ini tidak dijabarkan, maka pencegahan dan penanggulangan narkoba tidak akan berarti.Setiap diberantas di tingkat atas, akan tumbuh tunas yang baru.
Ketiga, BNN sebagai lembaga yang dipandang bisa memberikan solusi permasalahan narkoba, sepertinya terkena sindrom euforia artis. Peringanan status yang diterima nama-nama besar memberikan persepsi skeptis bagi masyarakat. Karena pada dasarnya, hak setiap warga negara adalah sama. Tidak boleh ada pembedaangga. Yang berbeda cukuplah aturan dan ideologi yang dijunjung, Karena pendidikan sendiri adalah salah satu cabang yang diharapkan memberikan pemasukan yang berlipat.
Jadi, selama hal-hal kecil tersebut diabaikan maka penanggulangan narkoba akan sia-sia. Karena pemberantasan narkoba membutuhkan partisipasi masyarakat sebagai subjek sasaran gerakan anti narkoba. Ketika masyarakat sudah menyadari tentang arti pentingnya pengetahuan mengenai narkoba, maka mereka memiliki kesadaran dalam mengambil sikap.
Ketika hal tersebut diperhatikan, maka saya kira tidak akan ada lagi orang-orang yang rela mengeluarkan uang banyak hanya demi untuk mendapatkan kesenangan sesaat. Pelaksanaan hukum secara murni akan memberikan tanggapan positif masyarakat terhadap upaya pemerintah dalam memberantas narkoba.
Isdiyono, Pemerhati Masalah Sosial
Tinggal di Yogyakarta

           
           

Sabtu, 19 Maret 2011

Antara Bencana, Usaha dan Do’a


Jum’at (10/03) lalu, Jepang diterjang gempa bumi sebesar 8.9 SR yang diikuti dengan gelombang tsunami yang dahsyat. Sebagai negara yang maju, peralatan peringatan dini ancaman bencana mereka tidak perlu diragukan lagi. Faktanya, masih banyak korban yang berjatuhan. Artinya, kekuatan alam memang tidak bisa dilawan, bahkan dengan teknologi yang canggih sekalipun.
Berkaca pada kejadian tersebut, sebagai negara yang terletak pada jalur pegunungan api dunia, Indonesia juga harus bersiap-siap. Bencana bisa datang kapan saja dan di mana saja. Seperti contohnya, tsunami di Aceh 2002, gempa bumi di Yogyakarta dan Lumpur panas Sidoarjo 2006, dan yang belum lama, meletusnya Merapi pada penghujung tahun 2010 lalu. Bencana tidak bisa diprediksi kapan datangnya, manusia hanya bisa memperkirakan dan mencegah jatuhnya banyak korban.
Bagi masyarakat Indonesia, berita duka dialamatkan untuk masyarakat Jepang yang selama ini membantu rekonstruksi ulang berbagai bencana di Indonesia. Sekaligus direfleksikan sebagai sebuah pelajaran penting dalam menghadapi bencana serupa di masa mendatang. Dalam hal ini, permasalahan pengetahuan tentang bencana lebih kompleks di Indonesia.
Di Jepang, meski nilai-nilai tradisional dilestarikan tetapi nilai modernisasi menghiasi setiap aktivitas harian. Sedangkan di Indonesia, modernisasi belum sepenuhnya berjalan setiap hari. Nilai tradisional yang berbau mistis dan  takhayul masih menghiasi keseharian. Sehingga, sangat sulit untuk meyakinkan pada masyarakat kita tentang mitigasi bencana.
Perlunya pengetahuan mitigasi adalah untuk mencegah jatuhnya korban dalam skala banyak. Karena ketidaktahuan, atau karena terlalu percaya pada hal-hal yang bersifat di luar nalar manusia. Karena kita tahu sendiri, bahwa kehendak Alloh itu tidak bisa dilawan. Baik dengan kekuatan supranatural, ataupun dengan kekuatan teknologi. Karena pada dasarnya, semua yang ada di dunia ini adalah terjadi karena-Nya. Sehingga, tak ada yang tidak mungkin terjadi pada manusia yang lemah dan penuh dosa.
Bisa jadi, bencana yang terjadi selama ini adalah wujud kasih sayang-Nya  kepada kita. Karena kita lalai, jadi Dia mengingatkan kita dengan kekuasaan-Nya. Mungkin, karena manusia sudah terlalu tidak peduli dengan tanda-tanda, sehingga bencana yang terjadi pun semakin besar.
Maka, sudah saatnya kita berpikir secara nalar dan reilijus. Nalar dengan usaha pencegahan dan antisipasi tindakan ketika dan pasca terjadi bencana. Karena ketika bencana terjadi di suatu tempat, maka takkan ada yang bisa menghindarinya. Manusia harus menghadapi, bagaimana berbuat yang terbaik untuk menyelamatkan diri sendiri dan orang lain di sekitarnya. Manusia tidak bisa hidup sendiri, manusia membutuhkan manusia lain untuk hidup.
Nilai-nilai sosial tampak kentara ketika manusia disudutkan pada satu kondisi yang sama, sama-sama tertekan. Emosional, kekeluargaan dan kebersamaan dalam satu nasib sungguh sangat teguh. Berbeda ketika kondisi damai, manusia lebih suka berpecah belah, suka membuat kekacauan dan hal-hal yang tidak penting lainnya.
Bayangkan, seandainya kondisi dengan nuansa kebersamaan sebagai satu nasib diterapkan dalam kehidupan damai. Tentu Indonesia akan menjadi negara yang maju dan cepat meningkat perkembangan ilmu dan teknologinya. Sehingga, pengetahuan tentang bencana yang mengancam kapan saja, bisa diminimalisir semaksimal mungkin. Tidak sekedar dengan ilmu ‘titen’ atau perhitungan kebiasaan. Karena kebiasaan tidak selalu bisa terulang, tanda-tanda alamlah yang dengan tepat telah memberikan sinyalnya. 
Pengalaman adalah guru yang sangat berharga, sungguh sayang jika pengalaman tersebut hanya menjadi angin lalu. Sebagai negara yang dilalui tiga jalur gempa dunia. Eurasia, Kaukasus dan Pasifik, sudah sepantasnya kita antisipasi dan mempersiapkan diri untuk pencegahan terjadinya banyak korban. Sosialisasi menyeluruh kepada masyarakat, terutama masyarakat pedesaan adalah sebuah kewajiban. Karena pengetahuan yang minim dan kepercayaan pada takhayul yang tinggi, tak jarang kedua faktor ini menghambat evakuasi daerah bahaya dengan status awas.
Manusia wajib berusaha sedangkan hasil akhir adalah milik-Nya. Tak ada yang melebihi kekuasaan-Nya atas alam semesta. Sehingga, amat sombonglah jika kita selalu menganggap bahwa semua yang ada di dunia ini berada di bawah kekuasaan kita. Sehingga, kita semena-mena terhadap orang lain, terhadap alam dan terhadap mahkluk hidup lainnya. Mari kita renungi bencana ini sebagai pelajaran yang berharga untuk berusaha membekali diri dengan keterampilan mitigasi, serta selalu mengingat-Nya. Wallahu a’lam.

Isdiyono, Aktivis Gapura
Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta

Selasa, 01 Februari 2011

Jaga Hati Rakyat


SUARA MAHASISWA

Panggung politik Indonesia kembali bergemuruh ketika presiden berpidato di depan para prajurit TNI. Setelah beberapa waktu isu keistimewaan dilontarkan dalam rapat kabinet, kali ini gajinya sendiri yang dipermasalahkan. Orang awam, terutama rakyat kecil, pasti akan langsung mencibir sikap tersebut.
Pasalnya, masih banyak rakyat miskin yang seumur hidupnya tidak pernah mengenal yang namanya kenaikan gaji. Meski maksud sebenarnya adalah untuk memberikan motivasi, menjadi tidak tepat karena dilontarkan ketika kasus-kasus mafia belum tuntas.
Masih sangat jelas di benak kita bagaimana bencana demi bencana melanda negeri ini, gempa bumi, banjir, lumpur Sidoarjo, hingga meletusnya gunung Merapi. Masih jelas di depan mata kita, bagaimana seorang Gayus Tambunan mempermainkan kepolisian, kejaksaan, KPK hingga satgas. Atau rekening-rekening gendut para pejabat yang tidak sesuai dengan jabatannya. Tentu rakyat kecil akan mengecam pernyataan presiden, terutama setelah media di tanah air membesar-besarkannya.
Akan tetapi, pernyataan tersebut menjadi wajar dan didukung oleh kementrian keuangan ketika melihat track record. Bahwa dalam pemerintahan, setiap kinerja yang meningkat mendapatkan reward, sedangkan kinerja negatif akan mendapatkan punishment yang proporsional. Salah satu bentuk reward ini adalah kenaikan gaji. Sehingga, reward ini akan menstimulus peningkatan kinerja.
Sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, tidak etis jika gaji presiden sama atau kurang dari jabatan di bawahnya. Karena ketika gaji presiden kecil, maka motivasi menjalankan amanah dengan baik akan menurun. Kondisi ini bisa menimbulkan wacana penyalahgunaan wewenang ketika audit dari tim keuangan menemukan ketidakberesan pemasukan presiden. Jika hal tersebut terjadi, maka kepada siapa rakyat mengeluhkan permasalahannya?
Pada dasarnya, gaji yang sesuai dengan posisi presiden memberikan beberapa manfaat. Pertama, menghindarkan fitnah dari korupsi. Sudah menjadi rahasia umum kalau pemimpin-pemimpin dunia sering menyalahgunakan kekuasaan yang diamanahkan padanya. Contoh termutakhir adalah revolusi yang terjadi di Tunisia. Kekacauan yang ditimbulkan dari ledakan emosi rakyat terhadap kesewenang-wenangan penguasa mencapai titik puncak hingga mempengaruhi negara-negara tetangga.
Kedua, memberikan ketenangan presiden dalam menjalankan amanahnya. Bayangkan, apa yang akan terjadi ketika gajinya rendah. Bisa dipastikan presiden tidak akan bias tidur karena memikirkan gajinya yang kecil, daripada harus memikirkan rakyatnya.
Terlepas dari tepat tidaknya, ada satu hal yang harus dipegang oleh seorang presiden. Bahwa menjadi seorang presiden itu adalah sebuah pengabdian, bukan menjadi pekerjaan. Karena tidak semua orang bisa melakukannya. Seorang presiden itu adalah seorang pemimpin, tak ada sekolah yang khusus mendidik calon presiden. Karena presiden itu tidak diciptakan, tetapi terbentuk dari pengalaman dan kemampuan.
Jadi, pada dasarnya permasalahan kenaikan gaji bukanlah permasalahan yang besar. Yang menjadi permasalah adalah bagaimana seorang presiden mampu menjaga hati rakyat, utamanya melalui ucapan. Karena pada saat ini, Indonesia belumlah merdeka seutuhnya. Masih banyak rakyat yang tidak bisa sekedar memenuhi kebutuhan makan tiga kali sehari.

Isdiyono, Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta

Kamis, 20 Januari 2011


Formulasi UN, Ujian Komitmen Guru

Selama beberapa tahun belakangan ini, pelaksanaan Ujian Nasional (UN) terus mendapatkan kritikan. Baik yang ditujukan pada pelaksanaan maupun dari segi kebijakannya yang tidak adil. Pelaksanaan yang penuh dengan praktik contek-mencontek dan kecurangan lainnya, membuat UN dianggap tidak kredibel dalam segi manajemen pelaksanaan. Penetapan UN sebagai faktor penentu kelulusan dianggap memberatkan karena seolah tidak menghargai proses belajar yang telah ditempuh oleh siswa selama tiga tahun.
Padahal, selama proses pembelajaran tersebut, mereka harus merelakan hampir setengah dari waktu produktif di sekolah. Selama itu pula, telah banyak biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhannya. Bukankah tidak adil, ketika mereka dinyatakan tidak lulus dalam ujian nasional?
Memang, ujian perbaikan, ulangan atau susulan selalu dilaksanakan, tetapi prestisnya selalu lebih rendah daripada lulus ujian nasional. Ujian susulan selalu diidentikkan dengan ujian ‘rasa kasihan’. Sehingga, semangat mengikuti ujian susulan selalu lebih rendah daripada UN. Penurunan semangat siswa yang tidak lulus, biasanya berimbas pada keyakinan siswa bahwa sekolah bisa merubah pola pikir, utamanya mengubah masa depan mereka.
Akhirnya, perjuangan masyarakat untuk menuntut pelaksanaan UN yang lebih baik sedikit mendapatkan titik terang. Mulai tahun ini, utamanya SD dan SMP, UN tidak lagi sebagai penentu kelulusan siswa (KR, 4/01). Dengan kata lain, beban psikologis siswa akan berkurang setelah mendengar pernyataan dari mendiknas. Apalagi, kalau implementasinya nanti benar-benar sesuai dengan amanat mendiknas dalam merevolusi pelaksanaan UN.
Wacana formulasi UN yang menggunakan nilai rapor sebagai pertimbangan kelulusan siswa, tidak serta-merta memberikan efek yang positif. Ada beberapa hal yang perlu dicermati dalam peralihan formulasi UN yang sedang digodok kemendiknas ini. Di antaranya adalah peran guru dalam pelaksanaan UN.
Dengan pertimbangan nilai rapor, maka kebijakan kelulusan UN sebagaian besar berada di pundak guru. Beban guru sebagai pendidik semakin berat terkait dengan komitmen dalam memajukan pendidikan di Indonesia. Sebagai garda terdepan, guru akan mendapatkan banyak tekanan, utamanya dari orang tua siswa ataupun masyarakat. Apalagi, guru tidak akan mampu untuk mencantumkan hokum ke dalam peraturan sekolah. Karena pendidikan bertujuan untuk mendidik, bukan untuk mengintervensi secara total sistem pendidikan.
Dalam hal ini, guru harus memiliki strategi dalam menghadapi berbagai kemungkinan intervensi maupun suap terkait dengan kelulusan siswa. Meski kita percaya kepada guru-guru kita yang saat ini sedang mengajar, tetapi hal ini perlu diperhatikan. Sebagai langkah preventif campur tangan orang luar dan penurunan kualitas output pendidikan karena siswa tidak lagi merasa tertantang untuk mendapatkan hasil maksimal dalam pelaksanaan UN.
Formulasi UN baru ini pada intinya bertujuan untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Sudah saatnya semua pihak yang terkait dengan pendidikan (guru, pengambil kebijakan, siswa dan masyarakat) untuk berkomitmen terhadap kualitas pendidikan nasional. Sangat menarik ditunggu, kiprah guru dalam menjaga kualitas pendidikan dengan komitmen dalam kebijakan kelulusan siswa.
Isdiyono, Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan


Universitas Negeri Yogyakarta

Bisa juga dibaca di Kedaulatan Rakyat edisi Sabtu, 15 Januari 2011

Jumat, 24 Desember 2010

Guru Teladan Mendidik Bangsa

Bulan November memang bulannya rakyat merayakan hari besar para pahlawannya. Setelah perayaan untuk para founding father dilaksanakan pada 10 november lalu, kali ini adalah untuk para pahlawan pendidikan : guru. Pada peringatan ini, ada beberapa hal yang perlu mendapatkan sorotan dari seorang guru yaitu tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab terhadap pendidikan.

Dalam bukunya Menjadi Guru Efektif, Suparlan (2005:12) mendefinisikan guru sebagai orang yang tugasnya mencerdaskan kehidupan bangsa dalam semua aspek. Baik dalam hal yang bersifat spiritual, emosional, intelektual, fiskal maupun aspek kepribadian lainnya. Artinya, seorang guru diidentikkan dengan orang yang memiliki keahlian untuk menyebarkan ilmu yang dimilikinya.

Guru mendapatkan tempat terhormat sekaligus tempat masyarakat menaruh harapan dan ekspektasi yang tinggi terhadap masa depan pendidikan masyarakat tersebut. Inilah yang seolah menyebabkan profesi guru sebagai profesi yang berat, tetapi mendapatkan penghargaan yang tak sebanding.
 
Kalau dilihat dari dimensi materi, maka posisi guru tidak bisa memenuhi tuntutan guru itu sendiri dalam menemukan kepuasannya. Selalu saja ada kesenjangan gaji yang diterima oleh seorang guru dengan profesi lain yang sama-sama berada di bawah pemerintah. 

Hal ini tentu tidak terlepas dari begitu banyaknya guru yang dihadapkan pada keterbatasan pemerintah dalam menganggarkan pendapatannya di sektor pendidikan. Kalau berbicara tentang hak, maka fakta ini tidak akan pernah mampu menjawab keinginan dan harapan guru dalam memenuhi kesejahteraan hidupnya. Menjadi guru bukanlah semata untuk kepentingan pemuasan fisik saja. Karena menjadi guru sejatinya adalah urusan batin, profesi guru adalah panggilan jiwa.

Frank Sennet (2004:2-7) merekam ungkapan para guru teladan di berbagai kota di Amerika tentang profesi yang mereka jalani. Bruce M. Penniman (Massachusetts) mengungkapkan bahwa mengajar adalah panggilan, bukan lompatan karir. Atau dengarlah penuturan dari Charles Zezulka (Connecticut),” Saat mengajar, saya merayakan kenikmatan belajar setiap harinya.” Kata Barbara Dorff (Texas), “ Guru yang baik terwujud dari hati.” Dalam kapasitas yang lebih luas, Pudad Ymbert (Texas) menuturkan bahwa, mengajar adalah melayani. Artinya melayani anak-anak, orang tua, masyarakat dan semua orang.

Memang benar bahwa menjadi guru harus siap menjadi pendidik masyarakat yang di dalamnya terdapat berbagai keragaman klasifikasi manusia. Inilah kewajiban seorang guru. Mereka tidak bisa melarikan diri dari kenyataan bahwa mereka merupakan salah satu bagian dari masyarakat belajar dan berada pada puncaknya, yakni sebagai fasilitator dan aktivator.

Seorang guru yang meninggalkan masyarakat sebagai tempatnya beraktivitas, perlu ditanyakan lagi kapasitas dan komitmennya dalam mengemban amanah mendidik bangsa. Bahwa pendidikan tanpa guru yang berkualitas, hanya akan menimbulkan permasalahan baru. Nah, berdasarkan pemikiran tersebut maka muncul pertanyaan baru, apakah guru yang ada sekarang sudah memiliki kompetensi profesional?

Pertanyaan ini menggiring kita pada hal tentang tanggung jawab yang setidaknya dipahami guru sebagai garis pembatas perannya dalam pendidikan. Dalam kondisi yang tidak memberikan jawaban pasti kepada masyarakat tentang peran pendidikan, guru wajib berinisiatif untuk memberikan pemahaman pada masyarakat. Bahwa pendidikan tidak semata tanggung jawab pemerintah yagn dalam hal ini dibebankan pada guru.

Pada hakikatnya, guru bukanlah profesi yang kaku, tetapi sebuah proses inovasi. Kata kunci inilah yang memberikan pemahaman pada masyarakat bahwa tugas guru itu bersifat dinamis. Selalu menyesuaikan situasi,kondisi dan kemajuan dunia ilmu pengetahuan.

Jadi, tanggung jawab seorang guru adalah memberikan inovasi dalam praktik pendidikan. Pendekatan proses secara kognitif, afektif, spiritual dan humanisme membedakan perlakuan kita terhadap guru dengan kita terhadap mesin di pabrik-pabrik. Manusia juga mahkluk yang bisa lelah mengeluh, tidak seperti mesin yang tak memiliki perasaan dan keinginan.

Permasalahan

Dalam pepatah populer selalu dikatakan bahwa, harapan dan kenyataan itu selalu berbanding terbalik. Kesejahteraan guru menjadi prioritas pertama dalam hal identifikasi masalah, melebihi keinginan mereka untuk meningkatkan kompetensi diri. Sehingga, tidak mengherankan jika banyak terjadi kasus guru yang melakukan aksi unjuk rasa menuntut kejelasan status mereka. Terutama untuk guru-guru honorer. 

Seperti yang terjadi pada Sabtu (20/11), seratusan guru yang tergabung dalam Forum Komunikasi Guru dan Penjaga Wiyata Bakti (FKGWB) Banyumas melakukannya di depan gedung DPRD setempat. Tuntutannya adalah supaya honor yang mereka terima meningkat dari Rp 50.000,00 perbulan yang mereka terima sebelumnya.

Jauh di Sulawesi seorang guru bernama Ati (44), menerima Satya Lencana Pendidikan dari presiden atas keihklasannya mengajar di daerah terpencil dengan gaji Rp 15.000,00 saja. Kedua kasus tersebut jelas menunjukkan perbedaan yang sangat mencolok. Guru, satu sebutan, tetapi berbeda pemaknaan.

Pada dasarnya, kesejahteraan memang merupakan dambaan semua orang sebagai imbas dari profesi yang dimiliki sesuai dengan kinerjanya. Sehingga, profesi tidak hanya dimaknai sebagai titel yang bersesuaian dengan pendapatan tetapi diiringi dengan prinsip profesional. Artinya, dengan semakin tinggi tuntutan yang diminta, seharusnya semakin inovatif guru dalam memberikan kemampuannya. 

Guru sejati tidak hanya digambarkan sebagai sosok yang mata duitan. Guru adalah simbol keteladanan bagi murid-muridnya. Ketika guru kehilangan jati dirinya, maka yang akan hancur adalah sistem pendidikan dalam ranah praktis. Kenaikan kesejahteraan seharusnya menjadi bagian dari peningkatan kapasitas dalam mendidik anak bangsa. Dengan demikian, pendidikan tidak akan kehilangan figur guru yang diidam-idamkan oleh masyarakat. Jika tidak, kita hanya akan mengenal satu guru dalam diri Oemar Bakri. Selamat hari guru.

Isdiyono, Mahasiswa Program Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Universitas Negeri Yogyakarta

Jumat, 15 Oktober 2010

Benarkah Timnas Bangkit ?

Add caption
Dalam beberapa tahun ini, publik sepakbola di tanah air sedang dirundung duka terkait melorotnya prestasinya di tingkat internasional. Tak pernah masuk final piala AFF dalam beberapa kali perhelatan, gagal di Piala AFC dan langsung rontok di babak penyisihan Piala Dunia membuat mimpi publik melihat merah-putih berkibar di ajang paling bergengsi di jagat persepakbolaan dunia meredup.

Kritik keras pun kemudian melayang bertubi-tubi kepada PSSI sebagai pihak yang paling bertanggungjawab tentang prestasi sepakbola nasional. Kondisi ini memang sulit bagi PSSI, tetapimereka memang harus bertanggungjawab terhadap fakta ini. Kemelorotan prestasi sepakbola ini harus segera mendapatkan respon dan tanggapan positif dari berbagai pihak terutama PSSI dan Menpora.

Sebenarnya, berbagai cara telah ditempuh untuk meningkatkan kualitas dan prestasi timnas di ajang internasional. Tetapi, hasilnya memang belum maksimal. Beberapa hal yang perlu diperbaiki adalah tentang pembinaan pemain muda, pelaksanaan kompetisi yang sehat dan kompetitif, internasionalisasi kompetisi sepakbola nasional dan menyekolahkan pemain-pemain muda berbakat dalam kompetisi di luar negeri. Meskipun, pada kenyataannya program-program ini belum memperlihatkan hasilnya.

Salah satu hal yang menarik adalah adanya niatan kuat dari PSSI untuk mendatangkan pemain keturunan untuk membela timnas Indonesia. Ide naturalisasi pemain dianggap sebagai pilihan tepat atas kemerosotan prestasi timnas. Berkaitan dengan hal ini, PSSI tampaknya mulai mengalami titik kejenuhan dalam mengembangkan sepakbola di tanah air.

Namun, pada awalnya program anturalisasi tidak perlu dilakukan karena mereka dianggap kurang memiliki rasa bertanah air Indonesia. Hal ini dapat kita lihat bahwa sebagian besar para pemain keturunan yang bermain di negara-negara Eropa belum pernah tinggal di Indonesia. Alasan ini sebenarnya tidak masuk akal, karena naturalisasi bias dilakukan ketika mereka bersedia untuk melepas kewarganegaraan mereka.
Terkait dengan nasionalisme yang dikhawatirkan akan luntur, kita patut belajar dari timnas Jerman. Pada puluhan tahun yang lalu, peringkat tiga Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan ini memang dihuni oleh pemain-pemain lokal. Nasionalisme menjadi alasan yang tidak bisa dibantah dan tidak bias dilawan. Bahwa bangsa Jerman adalah untuk bangsa mereka sendiri.

Tetapi, hal yang berbeda dapat kita lihat dari skuad timnas Der Panzer, julukan Jerman, di Piala Dunia di Afrika Selatan lalu. Pemain yang dating lebih berwarna-warni. Ada Boateng yang berdarah Ghana, Klose dan Podolski berdarah  Polandia, Mezut Oezil berdarah Turki hingga Marko Marin seorang pengungsi dari Bosnia. Pada kenyataannya, keanekaragaman itu tidak menyurutkan prestasi tetapi malah mengantarkan mereka duduk pada peringkat ketiga.

Belajar dari Jerman, naturalisasi pemain bisa dijadikan alternatif tepat untuk meningkatkan prestasi timnas. Fakta ini mengingat banyak pebola keturunan Indonesia bermain di klub top dunia. Contohnya adalah Raja Nainggolan yang bermain dengan klub Cagliari, Sergio van Dijk top skorer liga Australia dan yang lain.

Dengan adanya pemain yang lebih berkualitas, tidak akan mengurangi kekuatan timnas. Tetapi, justru dapat memberikan atmosfer yang lebih ketat bagi pemain lokal. Persaingan yang semakin ketat ini akan membuat pemain lokal semakin terpacu meningkatkan kualitasnya. Bahwa kaus timnas itu terlalu mahal jika digadaikan dengan sekedar nilai finansial.

Jadi, pada akhirnya pemain yang memperkuat timnas Indonesia adalah mereka yang memang benar-benar cinta pada tanah air dan mau meningkatkan prestasi sepakbolanya. Tidak sekedar memperkuat timnas karena ingin bermain di ajang internasional saja. Karena sinyal kebangkitan timnas itu saying jika dibiarkan menyala sendiri tanpa adanya dukungan.

Isdiyono, Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta