Sabtu, 26 Juni 2010

Epistemologi Pendidikan

Oleh : Isdiyono*

           Ketika kita berbicara tentang sesuatu konsep, maka yang akan timbul dalam benak kita adalah arti atau makna tentang konsep tersebut. Sesuai dengan hakikatnya, manusia selalu memiliki keinginan untuk tahu. Keinginan inilah yang kemudian membuat manusia mengembangkan pola pemikirannya. Sedikit demi sedikit, akivitas ini mempengaruhi peradaban manusia yang semakin maju.

           Mencari arti kata tidak dapat dilepaskan pada peran ilmu filsafat, ilmu yang mempelajari tentang arti suatu kata. Sebuah proses dalam mengungkapkan suatu makna untuk memperoleh hal baru. Dalam hal ini, epistemologi memiliki peran penting dalam keberadaan dan perkembangan ilmu pengetahuan. 

           Suriasumantri (1996), mengemukakan bahwa aspek ontologis keilmuan biasanya mempersalahkan apa yang dikaji oleh sebuah ilmu pengetahuan. Bukan menggambarkan kebenaran sebagai sesuatu yang harus dipercayai secara mutlak. Jadi, perkembangan ilmu pengetahuan tidak bisa dilepaskan dari penelusuran panjang manusia untuk menemukan kebenaran yang masih tersembunyi.

           Epistemologi berasal dari bahasa Yunani episteme yang berarti pengetahuan (knowledge) dan logos yang berari teori (theory)1. Episteme juga diartikan dengan sains (science) dan logos yang berarti informasi (information), atau penjelasan (explanation). Epistemologi pada mulanya digunakan oleh para ilmuwan barat sebagai metode untuk menggali, merumuskan, mengembangkan sains dan teknologi. 

Epistemologi berusaha mendefinisikan pengetahuan, membedakan cabang-cabangnya yang pokok, mengidentifikasikan sumber-sumbernya dan menetapkan batasannya. Idris dkk (2008) memberikan pernyataan bahwa epistemologi bertujuan untuk menjelaskan seluk beluk/tata kerja ilmu dari sisi sumber, sruktur, metodologi, ukuran, hakikat dan objek. 

           Epistemologi mendasari ilmu pengetahuan dalam kaitannya dengan konsep dan pencarian terhadap kebenaran yang akan diusungnya. Kebenaran yang bersifat objektif, dapat diterima tidak hanya dari satu pihak saja. Kebenaran yang bisa dipertanggungjawabkan dalam kaitannya dengan kehidupan sehari-hari.

           Metode yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan ilmiah adalah dengan menerapkan logiko-hipotetiko-verivikatif. Idris dkk menjelaskan metode ini sebagai sebuah pembuktian bahwa sebuah konsep itu adalah logis. Kemudian diajukanlah hipotesis didasari dari oleh logika yang sudah bias dipahami sebelumnya. Pembuktian konsep ini adalah dengan membuktikan hipotesis yang telah diajukan secara empirik. Artinya, pembuktian harus bias diterima oleh akal dalam kehidupan sehari-hari. 

           Begitupula ketika kita berbicara tentang hakikat pendidikan, maka epistemologi tidak dapat dipisahkan sebagai pelacak jejak kebenaran. Bahwa epistemologi pendidikan memiliki arti penting dalam menentukan struktur yang mengukuhkan bangunan pendidikan. 

           Pengetahuan tentang pendidikan dapat dipahami secara utuh ketika kita tahu tentang hal-hal yang mendasarinya. Pendidikan tidak dapat didefinisikan di permukaannya saja. Artinya, penguraian tentang hakekat pendidikan tidak bias dipahami secara dikotomi antara satu komponen dengan komponen lainnya.

           Pendidikan begitu vital dalam perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya yang mengiringi.Pendidikan yang berhasil tidak akan mengorbankan salah satunya hanya untuk mendapatkan yang lain. Kenyataan ini mendasari para praktisi pendidikan dalam mengembangkan pengetahuan ke tingkat yang relevan dengan kondisi saat ini. 

           Pendidikan tidak hanya belajar tentang masa lalu saja, tetapi saat ini dan masa depan. Kedinamisan pendidikan akan mendorong kemajuan ke arah yang positif. Tidak mengarah pada keadaan di mana pendidikan membutuhkan campur tangan pihak-pihak yang idak berkompeten. 

           Pemahaman yang benar tentang dinamika pendidikan akan mewujudkan kultur ilmiah yang membangun. Pentingnya pemahaman yang benar adalah untuk membangun persepsi tentang pendidikan yang akan diwujudkan. Tentunya, pemahaman ini memerlukan perhatian dan kritikan agarpendidikan ideal semakin menemukan bentuknya.
*Mahasiswa PGSD 2008, Kelas S4B FIP UNY
Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah pendidikan komparatif








Jumat, 25 Juni 2010

Imbas Target Kenaikan Pendapatan 6 %


Pada kondisi yang sangat sulit ini, merupakan hal yang kurang bijaksana ketika harga BBM yang dikambinghitamkan. Kenaikan harga BBM merupakan tendangan telak yang memaksa rakyat untuk berpuasa kesejahteraan. Karena dengan kenaikan, maka biaya operasional usaha kecil dan menengah (UKM) membengkak.
Seolah, isu kenaikan harga BBM ini adalah untuk mengalihkan perhatian massa dari isu-isu di atas. Kasus makelar kasus dan korupsi yang tidak kelar membuat alas an kenaikan BBM adalah untuk mengalihkan perhatian kita pada isu tersebut. Kondisi ini tentu sangat tidak ideal karena dengan isu ini, rakyat seolah diminta untuk bungkam dengan bahasa dan halus.
Kita semua tahu, isu BBM adalah isu yang sangat sensitif di kalangan masyarakat kelas menengah dan miskin. BBM sebagai kebutuhan dasar yang sangat dibutuhkan, memiliki arti yang sangat penting dalam menjalankan roda perekonomiannya. Apalagi, konversi minyak tanah ke gas tampaknya tidak akan menuai sukses mengingat banyaknya kasus gas meledak di beberapa tempat. Masyarakat tentu akan melirik kembali penggunaan BBM sebagai bahan bakar. Apalagi, harga BBM saat ini sudah tergolong tinggi. Jika ditambah, maka akan semakin menjerat leher rakyat miskin.
Padahal, UKM sangat penting artinya dalam tatanan sistem ekonomi masyarakat kita ini. Sistem ekonomi UKM dan pasar adalah solusi efektif Negara dalam menghadapi krisis global yang sempat melanda dunia beberapa waktu yang lalu. Pembunuhan UKM secara perlahan tentu akan semakin memperpuruk rakyat kecil. Meski dengan kenaikan harga BBM ini akan menambah pendapatan Negara.
Menariknya, kalau kita amati kenaikan harga BBM ini adalah bukti ketakutan pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu II dalam melunasi janji-janji kampanyenya. Target kenaikan pendapatan sampai 6% ternyata menjadi bumerang bagi kebijakan ekonomi sekarang ini. Ketakutan itu membuat pemerintah sekarang ‘terpaksa’ menaikkan harga BBM.
Dengan tidak terkena imbas krisis ekonomi global, nilai jual politik yang paling ‘menjual’ adalah dengan menaikkan target pertumbuhan yang lebih tinggi. Namun, saat itu belum terpikirkan siapakah yang harus dikorbankan dalam pencapaian target tersebut. Presiden sebagai pelaku yang mencanangkan janji adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap kenaikan ini.
Tetapi, menaikkan sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak bukanlah pilihan yang bijak. Kenaikan pada sektor ini menunjukkan kelemahan pemerintah yang terlalu mengandalkannya. Pemerintah belum berani menargetkan asal pendapatan pada orang-orang dengan tingkat kesejahteraan ekonomi tinggi. Terbukti dengan semakin maraknya pengungkapan kasus yang melibatkan pada bidang pajak sebuah perusahaan besar.
Pengusaha-pengusaha besar bisa mengelak dari kebijakan pajak dengan mudah karena memiliki strategi yang baik. Sedangkan untuk masyarakat miskin? Terlalu sulit mengingat sistem pasar yang mengutamakan persaudaraan daripada keuntungan membuat kebijakan kenaikan harga BBM kurang masuk akal.
Solusi yang paling mungkin dapat dilakukan pemerintah adalah dengan mengoptimalkan pendapatan dari sektor yang dikerjakan oleh investor asing atau pengusaha-pengusaha besar. Sungguh tidak bijak ketika rakyat yang sudah kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari malah semakin diperas. Larangan penggunaan premium bagi kendaraan mewah hanyalah salah satu peran pemerintah dalam menjunjung keadilan dalam pemanfaatan sumber daya alam.
 Ekonomi kerakyatan sebagai pilar perekonomian nasional harus dipikirkan dalam mengambiul setiap kebijakan. Karena dengan kenaikan harga BBM, akan ada banyak masyarakat kecil yang harus semakin mengencangkan ikat pinggangnya. Wallahu a’lam.
Isdiyono, Mahasiswa FIP
Universitas Negeri Yogyakarta

Kamis, 24 Juni 2010

Ironis Pahlawan Devisa

           Sudah enam puluh lima tahun sudah kita merdeka dari penjajahan yang menginjak-injak harga diri bangsa kita. Setiap kenangan yang tercipat adalah seperti sebuah penghinaan terhadap kesengsaraan. Sebuah perjalanan panjang untuk mendapatkan sebuah kata: MERDEKA. Hanya demi mencapai kata itulah, seluruh jiwa dan raga telah mereka persembahkan untuk negeri tercinta.
          Bertempur dengan peralatan seadanya adalah sebuah kebanggaan kita, mengingat dengan usaha yang gigihlah tujuan bersama dapat tercapai. Semua dilakukan dengan keikhlasan dan dengan kebanggaan yang sudah menyelimuti isi kepala. Tak ada kata menyerah, perjuangan harus dilakukan dengan sepenuh hati.
            Dan jika semua pengorbanan para pahlawan itu hanya kita kenang, maka kita tidak akan mendapatkan apapun selain terharu. Kita tidak akan dapat mencegah masa penjajahan itu. Satu-satunya jalan untuk menebus dan meneruskan perjuangannya adalah dengan meneruskan perjuangan itu. Tentu saja dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing.
           Berbicara tentang pahlawan, maka kita tidak bias lagi melihat para pejuang yang mengikatkan bendera merah putih di kepala, senapan di tangan dan dengan teriakan lantang untuk merdeka. Dan jika kita melihat fenomena yang sedang terjadi di sekitar kita, maka kita dapat melihat bahwa tidak ada perubahan yang terlalu mencolok dibandingkan dengan masa sebelum penjajahan.
           Kelaparan, kebodohan, kesengsaraan dan penghinaan masih saja menjadi pemandangan sehari-hari. Bencana terjadi di mana-mana, seolah-olah sedang menghukum kita yang selalu melakukan kejahatan dan kerusakan di atas dunia. Padahal, secara teknologi bangsa kita juga tidak terlalu ketinggalan. Hanya saja, kapasitas kita baru sebatas sebagai bangsa pengikut. Belum bias mandiri sepenuhnya, mungkin terjerat utang sepanjang masa.
           Belum selesai penderitaan yang terjadi di dalam negeri, penderitaan pun juga dialami bangsa kita di luar negeri. Ya, perlakuan kasar dan kejam terhadap TKI menjadi pemandangan sehari-hari bagi kita. Seolah-olah manusia Indonesia digambarkan sebagai mahkluk yang hina dan pantas untuk dianiaya.
           Kapasitas pendidikan sumber daya manusia (SDM) kita yang pas-pasan, membuat saudara-saudara kita yang berjuang untuk dapat bertahan hidup, terlunta-lunta di negeri orang. Tak ada yang peduli, rasa simpati mungkin muncul ketika mereka sudah digosok dengan setrika, disiram air aki atau pulang tinggal nama.
           Padahal, kepergian dan kepulangan mereka telah menghadirkan devisa yang tidak sedikit. Kerja mereka di luar sana juga tidak mudah, terkadang harus mempertaruhkan nyawanya demi menyambung hidup keluarganya di tanah air. Beruntung jika seorang TKI mendapat majikan yang baik hati. Tetapi, tidak semua majikan yang membayar mereka itu baik hati.
Pendidikan Rendah  
            Permasalahan itu selalu saja mendera mereka ketika sedang mengadu nasib di luar negeri. Kondisi mereka yang seperti itu dikarenakan tingkat pendidikannya yang rendah. Hal ini berdampak langsung pada kondisi fisik, mental, adaptasi dan cara mengolah pikiran mereka agar menjadi tenaga yang terdidik dan terlatih. Tetapi, pada kenyataannya adalah berkebalikan, mungkin pendidikan tertinggi mereka hanyalah tingkat SMA, SMP atau bahkan tidak lulus sekolah dasar.
           Secara tingkat keprofesionalan dan keahlian, mereka masuk pada golongan rendah, dan pekerjaan baru mereka di luar negeri adalah sebagai pegawai rumah tangga saja. Sangat jarang TKI kita yang dapat sukses dengan modal pendidikan yang seadanya. Dan, terkadang kepergian mereka adalah untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Keinginan itu terkadang timbul setelah melihat keberhasilan saudara, tetangga atau teman yang sukses setelah merantau.
           Keinginan yang tidak diimbangi dengan tingkat keahlian tinggi inilah yang membuat mereka mendapat pekerjaan rendahan. Sebuah pekerjaan yang menuntut keprofesionalan dan kedisiplinan tinggi. Tetapi dengan gaji yang rendah, meskipun jika dirupiahkan terlihat banyak. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang tidak mendapatkan gaji. Hal itu diakibatkan oleh apalagi kalau bukan masalah pendidikan yang rendah. Dengan pendidikan yang seadanya itu, maka nasib mereka juga tidak akan membaik.
Peningkatan Pendidikan
           Tingkat pendidikan yang rendah inilah penyebab utama timulnya masalah-masalh yang timbul di kemudian hari. Pendidikan tinggi terkadang diperlukan oleh seseorang untuk merantau ke tanah seberang. Buktinya, mereka yang memiliki keahlian dan keprofesionalan mendapatkan tempat di Negara tujuan masing-masing. Hal ini tidak mereka sadari sebelumnya pasti karena keterbatasan pengetahuan mereka ketika memahami peraturan dan kesepakatan kerja. Dan bagi mereka, sudah tidak ada lagi waktu yang dapat digunakan untuk meningkatkan taraf pendidikan mereka.
           Nah, satu-satunya cara untuk membalas jasa para pahlawan devisa ini adalah dengan peningkatan pendidikan anak-anak mereka. Hal ini sangat penting, mengingat dengan pendidikanlah seseorang dapat mandiri, dewasa dan menemukan hakikat bernurani sebagai wujud kepatuhan manusia sebagai mahkluk ciptaan-Nya.
           Sungguh tidak adil jika anak seorang TKI juga memiliki cita-cita sebagai seorang TKI. Tentu saja hal ini menjadi keprihatinan kita semua. Dengan peningkatan pendidikan, maka anak-anak mereka dapat bersaing untuk meningkatkan kesejahteraannya tanpa harus merantau. Kekayaan alam Indonesia yang melimpah ini tidak hanya cukup, tetapi melimpah untuk dimanfaatkan dan diberdayakan.
           Penignkatan taraf hidup agenda utama yang harus diperhatikan untuk menghormati taraf hidup pahlawan kita ini. Pahlawan yang tak kenal lelah ikut andil dalam menambah devisa Negara. Meskipun jarang sekali diperhatikan, namun semangat mereka selalu patut untuk dikenang dan diberi penghargaan.
           Harapannya adalah di masa mendatang, kita tidak lagi mendengar tangis mereka, tetapi senyuman dengan melihat anak-anaknya yang berhasil. Dapat meraih apa yang dicita-citakan dan tak bisa diraih oleh orang tua mereka. Melihat air yang menetes dari mata sang pahlawan kita. Pahlawan kita yang telah berjuang untuk keluarga dan tidak disadari mereka telah berjuang untuk negara. Masih patutkah mereka mendapatkan perlakuan yang penuh dengan penderitaan ?
Isdiyono, Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta
Ketua Forum ‘Berlima’ UKM Penelitian UNY
Yogyakarta

Gambar diambil dari : http://www.indonesiamedia.com/2004/06/early/manca/images/tkw/para-TKI.jpg

Senin, 21 Juni 2010

Dana Aspirasi DPR

Permasalahan bangsa yang membuat panggung politik kacau ini ternyata telah membuat para wakil rakyat frustasi. Anggaran untuk dana aspirasi adalah bukti bahwa para wakil rakyat mengalami sindrom down. Dalam artian, mental mereka dalam mendidik rakyat sudah menyimpang dari prinsip

Ketika mendengar rencana tentang dana aspirasi sebesar 15M per daerah pemilihan ini, saya jadi teringat slogan populer iklan yang tak lagi muncul. “Kalau bisa dipermudah, kenapa dipersulit.” Plesetannya jadi, kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah. Nah, ini dia yang saya maksudkan, ide dana aspirasi ini tak ubahnya kondisi mempersulit diri.

Rencana awal yang digaungkan oleh mereka yang mengusulkan adalah untuk mempercepat pembangunan. Kinerja pemerintah dalam memetakan wilayah dalam pembangunan dinilai lambat. Sehingga, pemerataan pembangunan pun dianggap kurang bisa memfasilitasi semua wilayah. Tetapi, pertanyaannya adalah apakah dana ‘sebesar’ itu bisa untuk mempercepat pembangunan?

Sebuah pertanyaan kritis untuk membentuk kerangkan berpikir bahwa pengusulan dana itu rawan akan mafia kasus. Pada tingkat pusat, dananya masih bisa utuh. Tetapi, seperti biasa, makin ke bawah pasti makin disunat. Kenyataan ini memang benar-benar terbukti masih menjadi bagian yang tumbuh dalam hati kecil para pemimpin Indonesia.

Begitupula dalam kasus ini, usulan untuk memberikan anggota legislatif adalah sebuah usulan jenius, sekaligus bodoh. Jenius karena memang rakyat kita membutuhkan uang untuk mengembangkan perekonomiannya. Tetapi, bodoh karena mendeskreditkan peran Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal (Menteri PDT).

Dana 15 M yang dipukul rata tentu menjadi langkah yang kurang bijaksana mengingat wilayah di setiap dapil tidaklah sama. Coba saja kita bandingkan D.I.Yogyakarta dengan Provinsi Jawa Tengah, tentu saja perbedaannya sangat kontras. Perbedaan luas wilayah menjadi sebuah fakta yang terelakkan bahwa dana meluncurkan dana itu untuk wilayah yang luas sama saja dengan menggarami lautan. Asinnya tak akan terasakan oleh ikan yang berenang di dalamnya. Ibarat ikan di lautan, rakyat sudah tidak memerlukan garam lagi untuk bertahan hidup. Masyarakat sudah mengerti bahwa politik uang tak dapat meningkatkan kehidupan.

Ketika nanti usulan itu diterima, maka yang paling tidak menerima adalah Menteri DPT. Pasalnya, setiap daerah sudah mengagendakan pembangunannya melalui Badan Pembangunan Daerah (Bappeda) masing-masing. Program selama jangka waktu lima tahun maupun yang berjangka pendek tahunan. Dana yang digunakan pun biasanya masih tersisa banyak. Usul dana aspirasi hanyalah akan menambah kerawanan makelar kasus (Markus).

Sudah seharusnya DPR membuat kebijakan yang diluluskan melalui jalan yang benar. Adakah jalan lain yang lebih baik dari sekedar mengurusi dana aspirasi yang belum jelas mekanismenya. Kebijakan yang melangkahi tugas menteri adalah kesia-siaan.

Isdiyono, Mahasiswa FIP
Universitas Negeri Yogyakarta

Rabu, 16 Juni 2010

Memaknai Kegagalan

Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan orang-orang menyadari betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan saat mereka menyerah (Thomas Alva Edison)

Hidup adalah sebuah pilihan, memilih untuk menjadi baik atau sebaliknya, memilih untuk menjadi buruk. Pilihan akan tergantung dari tujuan apa yang telah dicapai oleh seeorang. Pilihan ini akan bersesuaian dengan sikap dan keteguhan hati dalam mengarungi derasnya arus kehidupan. Yang setiap saat siap menelan siapa saja yang tidak kuat menahan gempuran demi gempuran arus tersebut.

Satu tujuan utama yang menjadi muara dari hamper semua orang adalah kesuksesan. Orang yang sukses diidentikkan dengan orang yang bisa mencapai sebuah kejayaan. Bisa melebihi capaian yang lain, di atas rata-rata. Demikianlah orang memandang kesuksesan itu sebagai sebuah berkah, keberuntungan atau warisan. Tidak melihat sejauh mana perjuangan awal yang telah dilakukannya.

Dalam kehidupan, orang yang sukses itu lebih sedikit jumlahnya daripada orang yang gagal. Namun, orang yang gagal memiliki peluang lebih besar daripada orang yang menyerah. Seperti tulisan di awal, bahwa ketika kita dihadapkan pada situasi yang memungkinkan kita untuk menyerah, terkadang tidak terpikir oleh kita untuk melanjutkan perjuangan.

Padahal, kesuksesan itu adalah sikap mampu bertahan dan melewati kegagalan tanpa kehilangan semangat. Kegagalan hanyalah sebuah batu sandungan kecil jika dibandingkan dengan nilai kesuksesan yang akan diraih. Kita semua bias melewati kegagalan demi kegagalan untuk meraih sesuatu yang lain. Bertahan, karena kegagalan itu tidak langsung besar. Semakin tinggi keinginan kita untuk berhasil, maka semakin besar pula bentuk ujian kegagalan itu.

Pemaknaan terhadap kegagalan inilah yang mungkin belum menjadi kebiasaan kita. Selama ini, kita lebih sering meratapi kegagalan dengan mengkambinghitamkan orang lain. Justru inilah yang menunjukkan bahwa kita memang tidak mampu. Alasan yang dibuat-buat malah akan menjerumuskan kita pada kegagalan yang lebih besar.

Memang, memutus sikap ini sangat sulit. Tetapi, ada hubungan timbal balik antara optimis dengan sikap yang kita ambil pada awal saat kita menentukan sikap. Apakah kita niatkan dengan memegang teguh kejujuran dan disiplin tinggi dalam berjuang, ataukah ingin memetik kesuksesan dengan cara apapun.

Orang yang menghalalkan segala cara, kesuksesannya tidak akan lama. Dia akan selalu dihantui oleh rasa bersalah dan tuntutan pertanggungjawabkan. Sayangnya, sikap inilah yang masih dipilih oleh orang-orang sukses di pemerintahan kita. Prinsip kejujuran belum menjadi landasan dalam meraih sebuah kesuksesan. 

Akibatnya, korupsi menjadi sebuha pilihan ketika dihadapkan pada gelimangan harta yang menggiurkan. Keimanan ditukar dengan sebuah kenikmatan yang tak akan bertahan lama. Kalau boleh disimpulkan, orang-orang inilah yang menutupi kegagalannya dengan memanfaatkan celah kelemahannya sendiri. Mereka menabung di bank yang salah, karena berakhir buntung.

Tentu saja, kita semua tidak berharap kesuksesan yang demikian. Sukses yang sesungguhnya adalah ketika kita berhasil dengan jerih payah dan jujur dalam mendapatkannya. Sukses itu tidak diukur dengan seberapa besar materi yang berhasil dikumpulkan, tetapi dari seberapa banyak pengalaman yang didapat. Sehingga, seseorang menjadi lebih dewasa dan semakin bijaksana dalam bertindak.

Begitupula dalam membangun negara ini. Kemiskinan yang selalu membuat mata kita sembab itu adalah cerminan dari sebuah kegagalan. Kegagalan pemerintah dalam mengatur dirinya sendiri telah mengorbankan rakyat dalam perjalanan menuju kesuksesan bersama. Menjadi bangsa besar yang rakyatnya sejahtera.

Apakah pemerintah mutlak disalahkan? Tentu saja tidak. Sebagai rakyat kecil, kita juga tidak boleh diam saja melihat pemerintah kita sedang sekarat. Memanjakan diri pada uluran tangan pemerintah adalah salah satu petanda bahwa kita tidak ingin berusaha merubah nasib. Kita sama saja dengan orang yang menyerah tanpa bertanding. Bukankah Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, jika mereka tidak merubah sendiri nasibnya?

Kepasrahan dan menyalahkan pemerintah yang tidak mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat adalah bukti kelemahan kita. Kedua penyakit inilah yang tidak akan meningkatkan pola berpikir kita, sehingga tak ada yang berubah ketika tangan tidak berubah. Kesuksesan dunia maupun akhirat tidak diukur dengan materi. Seperti kata pepatah Cina, pohon akan berbuah seiring dengan langkah kaki. Kesuksesan tidak dinanti tetapi disongsong.

Jadi, memaknai kegagalan tidak selalu berarti negatif. Pelajaran yang dapat diambil dari sebuah kegagalan adalah langkah awal kita dalam menyongsong sebuah kesuksesan. Kesuksesan dari bawah akan menyangga kesuksesan yang lebih besar. Tinggal, bagaimana kita mempersembahkan kesuksesan itu untuk negara. Apakah kita akan menanggapi tantangan itu, ataukah menjaga optimis untuk merubah bangsa kita ini. 
Wallahu a’lam. 

Isdiyono, Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta

Alhamdulillah nampang di Merapi 14 Juni 2010

Surat Cinta Kartini


“Kebangsawanan seseorang tidak ditentukan oleh keturunannya, tetapi oleh budi pekertinya…(Kartini: 1879-1904)”

Kartini yang kita kenal selama ini adalah seorang penulis surat untuk sahabatnya di Belanda, Nyonya Abendaon. Surat tentang keinginan-keinginan dan harapan dalam mencari makna dan hakikat wanita. Surat-surat itulah yang kemudian membuktikan bahwa pemikirannya jauh melebihi orang pada umumnya di masa itu. Sebuah surat yang kumpulannya menyibakkan kegelapan masa-masa suram kaum perempuan yang dimarjinalkan oleh sejarah. Pesan-pesan cinta yang ditujukan bahwa seorang wanita pun memiliki hak yang sama dalam pendidikan.
Ya, Habis Gelap Terbitlah Terang menjadi sebuah buku inspiratif bagi kaum feminis untuk mengemukakan pemikirannya menuju kebebasan. Pendidikan bagi kaum perempuan sangat mahal harganya pada saat itu. Bahwa hakikat perempuan masih diidentikkan dengan konco wingking, teman di dapur dan teman di kamar tidur. Perempuan mengalami penderitaan yang begitu hebatnya sehingga tak seorangpun yang menghargai suaranya.
Nah, yang kita kenang sekarang bukanlah sekedar perjuangannya melawan dominasi pria pada saat itu. Tetapi, bagaimana ketulusannya dalam membangun paradigma pendidikan yang menyeluruh. Gerakan pendidikan yang berusaha menghilangkan belenggu diskriminasi. Meskipun memang pada kenyataannya pendidikan tak dapat dijangkau, kecuali oleh para anak ningrat.
Gap perbedaan status sosial dan keadaan ekonomi yang tidak stabil begitu kentara. Hingga ketika kita membicarakan ningrat dan rakyat bagaikan melihat  langit dan bumi. Status sosial masih membelenggu interaksi persatuan kaum perempuan. Erakan mereka dibatasi oleh sikap ra ilok, atau tabu. Karena kodrat perempuan memang sudah digariskan sebagai pelengkap pria. Dan perempuan pun tidak berani mendobrak sistem ini dalam kehidupannya.
Melihat kondisi ini Kartini datang berbaur dengan rakyat, meninggalkan darah ningratnya untuk keadilan pendidikan. Bahwa satu-satunya jalan membebaskan pikiran dari hukum diskriminasi tradisi hanyalah melalui pemikiran. Perubahan cara pandang terhadap sebuah keadaan yang tidak memihak dan cenderung merugikan kaum perempuan.
Seperti cuplikan suratnya di atas, bahwa tingkatan sosial masyarakat itu ditentukan oleh bagaimana mereka berpikir. Bukan sebagai sebuah warisan genetik yang tidak bisa diganggu gugat. Budi pekerti yang baik adalah cerminan makna kata ningrat yang sesungguhnya.
Pemikiran ini sangat cocok ketika dikaitkan dengan kondisi pada waktu itu. Di mana kebodohan masih menjadi sesuatu yang umum. Pendidikan belum menjadi prioritas ketika untuk makan saja harus berkerja keras.
Pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan adalah untuk mengubah peran-peran kecil perempuan dalam menyuarakan pemikirannya. Karena pada hakikatnya, budi pekerti perempuan lebih lembut dan lebih menekankan kata hati. Tidak seperti kaum laki-laki yang mengandalkan otot dan kekuasaan. Sehingga terjadi kekacauan di berbagai sektor pemerintahan dan kehidupan sosial.
Melalui surat cintanya, dia ingin menyampaikan pada bangsa ini prinsip saling melengkapi. Bahwa perempuan tidak akan kehilangan kelembutannya ketika melengkapi kepemimpinan seorang laki-laki. Pergerakan itulah yang kini telah menerangkan kejelasan peran perempuan.
Kekerasan yang masih menimpa perempuan pada saat ini adalah keprihatinan Kartini. Kekerasan tidak lagi berguna dalam menegaskan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan tunggal. Tentu saja keprihatinan kita tujukan saat kita melihat masih banyaknya kasus kekerasan dalam rumah tangga, perdagangan manusia hingga kekerasan pada TKI kita di luar negeri. Perlu adanya penegakkan hukum yang tegas dalam melindungi pemikiran Kartini-Kartini selanjutnya.
Penegakkan ini harus dilaksanakan mulai dari dalam keluarga. Pendidikan yang benar dan adil menurut proporsinya. Sehingga, peran seorang Kartini bisa diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Atau hanya sebagai pesan cinta yang begitu saja berlalu ketika suratnya selesai dibacakan.
Kartini dengan keteguhan hatinya, masih bisa menjalani kehidupannya yang anggun sebagai perempuan. Dia melawan diskriminasi tanpa melupakan kodratnya. Keteladanan yang begitu jauh dalam memaknai nilai kebudayaan lebih dari semua orang yang menggembar-gemborkan kebijakan tanpa realisasi nyata.
Pada perkembangannya saat ini, peran perempuan memang telah disetarakan dengan laki-laki. Hal ini bisa dilihat dari semakin banyaknya pekerjaan yang semula identik dengan laki-laki menjadi pekerjaan yang tidak mengenal jenis kelamin. Efeknya adalah pada saat batasan-batasan norma kesopanan dilanggar. Maka, seorang perempuan dalam kondisi ini akan kehilangan keanggunannya. Tentu saja kita tidak ingin melihat Kartini menangis kan ? Wallahu a'lam

Isdiyono, Mahasiswa PGSD Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta