Rabu, 16 Juni 2010

Surat Cinta Kartini


“Kebangsawanan seseorang tidak ditentukan oleh keturunannya, tetapi oleh budi pekertinya…(Kartini: 1879-1904)”

Kartini yang kita kenal selama ini adalah seorang penulis surat untuk sahabatnya di Belanda, Nyonya Abendaon. Surat tentang keinginan-keinginan dan harapan dalam mencari makna dan hakikat wanita. Surat-surat itulah yang kemudian membuktikan bahwa pemikirannya jauh melebihi orang pada umumnya di masa itu. Sebuah surat yang kumpulannya menyibakkan kegelapan masa-masa suram kaum perempuan yang dimarjinalkan oleh sejarah. Pesan-pesan cinta yang ditujukan bahwa seorang wanita pun memiliki hak yang sama dalam pendidikan.
Ya, Habis Gelap Terbitlah Terang menjadi sebuah buku inspiratif bagi kaum feminis untuk mengemukakan pemikirannya menuju kebebasan. Pendidikan bagi kaum perempuan sangat mahal harganya pada saat itu. Bahwa hakikat perempuan masih diidentikkan dengan konco wingking, teman di dapur dan teman di kamar tidur. Perempuan mengalami penderitaan yang begitu hebatnya sehingga tak seorangpun yang menghargai suaranya.
Nah, yang kita kenang sekarang bukanlah sekedar perjuangannya melawan dominasi pria pada saat itu. Tetapi, bagaimana ketulusannya dalam membangun paradigma pendidikan yang menyeluruh. Gerakan pendidikan yang berusaha menghilangkan belenggu diskriminasi. Meskipun memang pada kenyataannya pendidikan tak dapat dijangkau, kecuali oleh para anak ningrat.
Gap perbedaan status sosial dan keadaan ekonomi yang tidak stabil begitu kentara. Hingga ketika kita membicarakan ningrat dan rakyat bagaikan melihat  langit dan bumi. Status sosial masih membelenggu interaksi persatuan kaum perempuan. Erakan mereka dibatasi oleh sikap ra ilok, atau tabu. Karena kodrat perempuan memang sudah digariskan sebagai pelengkap pria. Dan perempuan pun tidak berani mendobrak sistem ini dalam kehidupannya.
Melihat kondisi ini Kartini datang berbaur dengan rakyat, meninggalkan darah ningratnya untuk keadilan pendidikan. Bahwa satu-satunya jalan membebaskan pikiran dari hukum diskriminasi tradisi hanyalah melalui pemikiran. Perubahan cara pandang terhadap sebuah keadaan yang tidak memihak dan cenderung merugikan kaum perempuan.
Seperti cuplikan suratnya di atas, bahwa tingkatan sosial masyarakat itu ditentukan oleh bagaimana mereka berpikir. Bukan sebagai sebuah warisan genetik yang tidak bisa diganggu gugat. Budi pekerti yang baik adalah cerminan makna kata ningrat yang sesungguhnya.
Pemikiran ini sangat cocok ketika dikaitkan dengan kondisi pada waktu itu. Di mana kebodohan masih menjadi sesuatu yang umum. Pendidikan belum menjadi prioritas ketika untuk makan saja harus berkerja keras.
Pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan adalah untuk mengubah peran-peran kecil perempuan dalam menyuarakan pemikirannya. Karena pada hakikatnya, budi pekerti perempuan lebih lembut dan lebih menekankan kata hati. Tidak seperti kaum laki-laki yang mengandalkan otot dan kekuasaan. Sehingga terjadi kekacauan di berbagai sektor pemerintahan dan kehidupan sosial.
Melalui surat cintanya, dia ingin menyampaikan pada bangsa ini prinsip saling melengkapi. Bahwa perempuan tidak akan kehilangan kelembutannya ketika melengkapi kepemimpinan seorang laki-laki. Pergerakan itulah yang kini telah menerangkan kejelasan peran perempuan.
Kekerasan yang masih menimpa perempuan pada saat ini adalah keprihatinan Kartini. Kekerasan tidak lagi berguna dalam menegaskan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan tunggal. Tentu saja keprihatinan kita tujukan saat kita melihat masih banyaknya kasus kekerasan dalam rumah tangga, perdagangan manusia hingga kekerasan pada TKI kita di luar negeri. Perlu adanya penegakkan hukum yang tegas dalam melindungi pemikiran Kartini-Kartini selanjutnya.
Penegakkan ini harus dilaksanakan mulai dari dalam keluarga. Pendidikan yang benar dan adil menurut proporsinya. Sehingga, peran seorang Kartini bisa diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Atau hanya sebagai pesan cinta yang begitu saja berlalu ketika suratnya selesai dibacakan.
Kartini dengan keteguhan hatinya, masih bisa menjalani kehidupannya yang anggun sebagai perempuan. Dia melawan diskriminasi tanpa melupakan kodratnya. Keteladanan yang begitu jauh dalam memaknai nilai kebudayaan lebih dari semua orang yang menggembar-gemborkan kebijakan tanpa realisasi nyata.
Pada perkembangannya saat ini, peran perempuan memang telah disetarakan dengan laki-laki. Hal ini bisa dilihat dari semakin banyaknya pekerjaan yang semula identik dengan laki-laki menjadi pekerjaan yang tidak mengenal jenis kelamin. Efeknya adalah pada saat batasan-batasan norma kesopanan dilanggar. Maka, seorang perempuan dalam kondisi ini akan kehilangan keanggunannya. Tentu saja kita tidak ingin melihat Kartini menangis kan ? Wallahu a'lam

Isdiyono, Mahasiswa PGSD Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta

2 komentar:

  1. mas isdi aku dah Follow dirimu maka dirimu harus mem follow q juga

    BalasHapus
  2. oke...sip! Terus menulis!!!
    Semangat!!!

    BalasHapus

Bagi yang mengkopi, Tinggalkan Koment ya...makasih. Hehe