Sudah enam puluh lima tahun sudah kita merdeka dari penjajahan yang menginjak-injak harga diri bangsa kita. Setiap kenangan yang tercipat adalah seperti sebuah penghinaan terhadap kesengsaraan. Sebuah perjalanan panjang untuk mendapatkan sebuah kata: MERDEKA. Hanya demi mencapai kata itulah, seluruh jiwa dan raga telah mereka persembahkan untuk negeri tercinta.
Bertempur dengan peralatan seadanya adalah sebuah kebanggaan kita, mengingat dengan usaha yang gigihlah tujuan bersama dapat tercapai. Semua dilakukan dengan keikhlasan dan dengan kebanggaan yang sudah menyelimuti isi kepala. Tak ada kata menyerah, perjuangan harus dilakukan dengan sepenuh hati.
Dan jika semua pengorbanan para pahlawan itu hanya kita kenang, maka kita tidak akan mendapatkan apapun selain terharu. Kita tidak akan dapat mencegah masa penjajahan itu. Satu-satunya jalan untuk menebus dan meneruskan perjuangannya adalah dengan meneruskan perjuangan itu. Tentu saja dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing.
Berbicara tentang pahlawan, maka kita tidak bias lagi melihat para pejuang yang mengikatkan bendera merah putih di kepala, senapan di tangan dan dengan teriakan lantang untuk merdeka. Dan jika kita melihat fenomena yang sedang terjadi di sekitar kita, maka kita dapat melihat bahwa tidak ada perubahan yang terlalu mencolok dibandingkan dengan masa sebelum penjajahan.
Kelaparan, kebodohan, kesengsaraan dan penghinaan masih saja menjadi pemandangan sehari-hari. Bencana terjadi di mana-mana, seolah-olah sedang menghukum kita yang selalu melakukan kejahatan dan kerusakan di atas dunia. Padahal, secara teknologi bangsa kita juga tidak terlalu ketinggalan. Hanya saja, kapasitas kita baru sebatas sebagai bangsa pengikut. Belum bias mandiri sepenuhnya, mungkin terjerat utang sepanjang masa.
Belum selesai penderitaan yang terjadi di dalam negeri, penderitaan pun juga dialami bangsa kita di luar negeri. Ya, perlakuan kasar dan kejam terhadap TKI menjadi pemandangan sehari-hari bagi kita. Seolah-olah manusia Indonesia digambarkan sebagai mahkluk yang hina dan pantas untuk dianiaya.
Kapasitas pendidikan sumber daya manusia (SDM) kita yang pas-pasan, membuat saudara-saudara kita yang berjuang untuk dapat bertahan hidup, terlunta-lunta di negeri orang. Tak ada yang peduli, rasa simpati mungkin muncul ketika mereka sudah digosok dengan setrika, disiram air aki atau pulang tinggal nama.
Padahal, kepergian dan kepulangan mereka telah menghadirkan devisa yang tidak sedikit. Kerja mereka di luar sana juga tidak mudah, terkadang harus mempertaruhkan nyawanya demi menyambung hidup keluarganya di tanah air. Beruntung jika seorang TKI mendapat majikan yang baik hati. Tetapi, tidak semua majikan yang membayar mereka itu baik hati.
Pendidikan Rendah
Permasalahan itu selalu saja mendera mereka ketika sedang mengadu nasib di luar negeri. Kondisi mereka yang seperti itu dikarenakan tingkat pendidikannya yang rendah. Hal ini berdampak langsung pada kondisi fisik, mental, adaptasi dan cara mengolah pikiran mereka agar menjadi tenaga yang terdidik dan terlatih. Tetapi, pada kenyataannya adalah berkebalikan, mungkin pendidikan tertinggi mereka hanyalah tingkat SMA, SMP atau bahkan tidak lulus sekolah dasar.
Secara tingkat keprofesionalan dan keahlian, mereka masuk pada golongan rendah, dan pekerjaan baru mereka di luar negeri adalah sebagai pegawai rumah tangga saja. Sangat jarang TKI kita yang dapat sukses dengan modal pendidikan yang seadanya. Dan, terkadang kepergian mereka adalah untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Keinginan itu terkadang timbul setelah melihat keberhasilan saudara, tetangga atau teman yang sukses setelah merantau.
Keinginan yang tidak diimbangi dengan tingkat keahlian tinggi inilah yang membuat mereka mendapat pekerjaan rendahan. Sebuah pekerjaan yang menuntut keprofesionalan dan kedisiplinan tinggi. Tetapi dengan gaji yang rendah, meskipun jika dirupiahkan terlihat banyak. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang tidak mendapatkan gaji. Hal itu diakibatkan oleh apalagi kalau bukan masalah pendidikan yang rendah. Dengan pendidikan yang seadanya itu, maka nasib mereka juga tidak akan membaik.
Peningkatan Pendidikan
Tingkat pendidikan yang rendah inilah penyebab utama timulnya masalah-masalh yang timbul di kemudian hari. Pendidikan tinggi terkadang diperlukan oleh seseorang untuk merantau ke tanah seberang. Buktinya, mereka yang memiliki keahlian dan keprofesionalan mendapatkan tempat di Negara tujuan masing-masing. Hal ini tidak mereka sadari sebelumnya pasti karena keterbatasan pengetahuan mereka ketika memahami peraturan dan kesepakatan kerja. Dan bagi mereka, sudah tidak ada lagi waktu yang dapat digunakan untuk meningkatkan taraf pendidikan mereka.
Nah, satu-satunya cara untuk membalas jasa para pahlawan devisa ini adalah dengan peningkatan pendidikan anak-anak mereka. Hal ini sangat penting, mengingat dengan pendidikanlah seseorang dapat mandiri, dewasa dan menemukan hakikat bernurani sebagai wujud kepatuhan manusia sebagai mahkluk ciptaan-Nya.
Sungguh tidak adil jika anak seorang TKI juga memiliki cita-cita sebagai seorang TKI. Tentu saja hal ini menjadi keprihatinan kita semua. Dengan peningkatan pendidikan, maka anak-anak mereka dapat bersaing untuk meningkatkan kesejahteraannya tanpa harus merantau. Kekayaan alam Indonesia yang melimpah ini tidak hanya cukup, tetapi melimpah untuk dimanfaatkan dan diberdayakan.
Penignkatan taraf hidup agenda utama yang harus diperhatikan untuk menghormati taraf hidup pahlawan kita ini. Pahlawan yang tak kenal lelah ikut andil dalam menambah devisa Negara. Meskipun jarang sekali diperhatikan, namun semangat mereka selalu patut untuk dikenang dan diberi penghargaan.
Harapannya adalah di masa mendatang, kita tidak lagi mendengar tangis mereka, tetapi senyuman dengan melihat anak-anaknya yang berhasil. Dapat meraih apa yang dicita-citakan dan tak bisa diraih oleh orang tua mereka. Melihat air yang menetes dari mata sang pahlawan kita. Pahlawan kita yang telah berjuang untuk keluarga dan tidak disadari mereka telah berjuang untuk negara. Masih patutkah mereka mendapatkan perlakuan yang penuh dengan penderitaan ?
Isdiyono, Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta
Ketua Forum ‘Berlima’ UKM Penelitian UNY
Yogyakarta
Gambar diambil dari : http://www.indonesiamedia.com/2004/06/early/manca/images/tkw/para-TKI.jpg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagi yang mengkopi, Tinggalkan Koment ya...makasih. Hehe