Jumat, 25 Juni 2010

Imbas Target Kenaikan Pendapatan 6 %


Pada kondisi yang sangat sulit ini, merupakan hal yang kurang bijaksana ketika harga BBM yang dikambinghitamkan. Kenaikan harga BBM merupakan tendangan telak yang memaksa rakyat untuk berpuasa kesejahteraan. Karena dengan kenaikan, maka biaya operasional usaha kecil dan menengah (UKM) membengkak.
Seolah, isu kenaikan harga BBM ini adalah untuk mengalihkan perhatian massa dari isu-isu di atas. Kasus makelar kasus dan korupsi yang tidak kelar membuat alas an kenaikan BBM adalah untuk mengalihkan perhatian kita pada isu tersebut. Kondisi ini tentu sangat tidak ideal karena dengan isu ini, rakyat seolah diminta untuk bungkam dengan bahasa dan halus.
Kita semua tahu, isu BBM adalah isu yang sangat sensitif di kalangan masyarakat kelas menengah dan miskin. BBM sebagai kebutuhan dasar yang sangat dibutuhkan, memiliki arti yang sangat penting dalam menjalankan roda perekonomiannya. Apalagi, konversi minyak tanah ke gas tampaknya tidak akan menuai sukses mengingat banyaknya kasus gas meledak di beberapa tempat. Masyarakat tentu akan melirik kembali penggunaan BBM sebagai bahan bakar. Apalagi, harga BBM saat ini sudah tergolong tinggi. Jika ditambah, maka akan semakin menjerat leher rakyat miskin.
Padahal, UKM sangat penting artinya dalam tatanan sistem ekonomi masyarakat kita ini. Sistem ekonomi UKM dan pasar adalah solusi efektif Negara dalam menghadapi krisis global yang sempat melanda dunia beberapa waktu yang lalu. Pembunuhan UKM secara perlahan tentu akan semakin memperpuruk rakyat kecil. Meski dengan kenaikan harga BBM ini akan menambah pendapatan Negara.
Menariknya, kalau kita amati kenaikan harga BBM ini adalah bukti ketakutan pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu II dalam melunasi janji-janji kampanyenya. Target kenaikan pendapatan sampai 6% ternyata menjadi bumerang bagi kebijakan ekonomi sekarang ini. Ketakutan itu membuat pemerintah sekarang ‘terpaksa’ menaikkan harga BBM.
Dengan tidak terkena imbas krisis ekonomi global, nilai jual politik yang paling ‘menjual’ adalah dengan menaikkan target pertumbuhan yang lebih tinggi. Namun, saat itu belum terpikirkan siapakah yang harus dikorbankan dalam pencapaian target tersebut. Presiden sebagai pelaku yang mencanangkan janji adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap kenaikan ini.
Tetapi, menaikkan sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak bukanlah pilihan yang bijak. Kenaikan pada sektor ini menunjukkan kelemahan pemerintah yang terlalu mengandalkannya. Pemerintah belum berani menargetkan asal pendapatan pada orang-orang dengan tingkat kesejahteraan ekonomi tinggi. Terbukti dengan semakin maraknya pengungkapan kasus yang melibatkan pada bidang pajak sebuah perusahaan besar.
Pengusaha-pengusaha besar bisa mengelak dari kebijakan pajak dengan mudah karena memiliki strategi yang baik. Sedangkan untuk masyarakat miskin? Terlalu sulit mengingat sistem pasar yang mengutamakan persaudaraan daripada keuntungan membuat kebijakan kenaikan harga BBM kurang masuk akal.
Solusi yang paling mungkin dapat dilakukan pemerintah adalah dengan mengoptimalkan pendapatan dari sektor yang dikerjakan oleh investor asing atau pengusaha-pengusaha besar. Sungguh tidak bijak ketika rakyat yang sudah kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari malah semakin diperas. Larangan penggunaan premium bagi kendaraan mewah hanyalah salah satu peran pemerintah dalam menjunjung keadilan dalam pemanfaatan sumber daya alam.
 Ekonomi kerakyatan sebagai pilar perekonomian nasional harus dipikirkan dalam mengambiul setiap kebijakan. Karena dengan kenaikan harga BBM, akan ada banyak masyarakat kecil yang harus semakin mengencangkan ikat pinggangnya. Wallahu a’lam.
Isdiyono, Mahasiswa FIP
Universitas Negeri Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagi yang mengkopi, Tinggalkan Koment ya...makasih. Hehe