Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan orang-orang menyadari betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan saat mereka menyerah (Thomas Alva Edison)
Hidup adalah sebuah pilihan, memilih untuk menjadi baik atau sebaliknya, memilih untuk menjadi buruk. Pilihan akan tergantung dari tujuan apa yang telah dicapai oleh seeorang. Pilihan ini akan bersesuaian dengan sikap dan keteguhan hati dalam mengarungi derasnya arus kehidupan. Yang setiap saat siap menelan siapa saja yang tidak kuat menahan gempuran demi gempuran arus tersebut.
Satu tujuan utama yang menjadi muara dari hamper semua orang adalah kesuksesan. Orang yang sukses diidentikkan dengan orang yang bisa mencapai sebuah kejayaan. Bisa melebihi capaian yang lain, di atas rata-rata. Demikianlah orang memandang kesuksesan itu sebagai sebuah berkah, keberuntungan atau warisan. Tidak melihat sejauh mana perjuangan awal yang telah dilakukannya.
Dalam kehidupan, orang yang sukses itu lebih sedikit jumlahnya daripada orang yang gagal. Namun, orang yang gagal memiliki peluang lebih besar daripada orang yang menyerah. Seperti tulisan di awal, bahwa ketika kita dihadapkan pada situasi yang memungkinkan kita untuk menyerah, terkadang tidak terpikir oleh kita untuk melanjutkan perjuangan.
Padahal, kesuksesan itu adalah sikap mampu bertahan dan melewati kegagalan tanpa kehilangan semangat. Kegagalan hanyalah sebuah batu sandungan kecil jika dibandingkan dengan nilai kesuksesan yang akan diraih. Kita semua bias melewati kegagalan demi kegagalan untuk meraih sesuatu yang lain. Bertahan, karena kegagalan itu tidak langsung besar. Semakin tinggi keinginan kita untuk berhasil, maka semakin besar pula bentuk ujian kegagalan itu.
Pemaknaan terhadap kegagalan inilah yang mungkin belum menjadi kebiasaan kita. Selama ini, kita lebih sering meratapi kegagalan dengan mengkambinghitamkan orang lain. Justru inilah yang menunjukkan bahwa kita memang tidak mampu. Alasan yang dibuat-buat malah akan menjerumuskan kita pada kegagalan yang lebih besar.
Memang, memutus sikap ini sangat sulit. Tetapi, ada hubungan timbal balik antara optimis dengan sikap yang kita ambil pada awal saat kita menentukan sikap. Apakah kita niatkan dengan memegang teguh kejujuran dan disiplin tinggi dalam berjuang, ataukah ingin memetik kesuksesan dengan cara apapun.
Orang yang menghalalkan segala cara, kesuksesannya tidak akan lama. Dia akan selalu dihantui oleh rasa bersalah dan tuntutan pertanggungjawabkan. Sayangnya, sikap inilah yang masih dipilih oleh orang-orang sukses di pemerintahan kita. Prinsip kejujuran belum menjadi landasan dalam meraih sebuah kesuksesan.
Akibatnya, korupsi menjadi sebuha pilihan ketika dihadapkan pada gelimangan harta yang menggiurkan. Keimanan ditukar dengan sebuah kenikmatan yang tak akan bertahan lama. Kalau boleh disimpulkan, orang-orang inilah yang menutupi kegagalannya dengan memanfaatkan celah kelemahannya sendiri. Mereka menabung di bank yang salah, karena berakhir buntung.
Tentu saja, kita semua tidak berharap kesuksesan yang demikian. Sukses yang sesungguhnya adalah ketika kita berhasil dengan jerih payah dan jujur dalam mendapatkannya. Sukses itu tidak diukur dengan seberapa besar materi yang berhasil dikumpulkan, tetapi dari seberapa banyak pengalaman yang didapat. Sehingga, seseorang menjadi lebih dewasa dan semakin bijaksana dalam bertindak.
Begitupula dalam membangun negara ini. Kemiskinan yang selalu membuat mata kita sembab itu adalah cerminan dari sebuah kegagalan. Kegagalan pemerintah dalam mengatur dirinya sendiri telah mengorbankan rakyat dalam perjalanan menuju kesuksesan bersama. Menjadi bangsa besar yang rakyatnya sejahtera.
Apakah pemerintah mutlak disalahkan? Tentu saja tidak. Sebagai rakyat kecil, kita juga tidak boleh diam saja melihat pemerintah kita sedang sekarat. Memanjakan diri pada uluran tangan pemerintah adalah salah satu petanda bahwa kita tidak ingin berusaha merubah nasib. Kita sama saja dengan orang yang menyerah tanpa bertanding. Bukankah Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, jika mereka tidak merubah sendiri nasibnya?
Kepasrahan dan menyalahkan pemerintah yang tidak mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat adalah bukti kelemahan kita. Kedua penyakit inilah yang tidak akan meningkatkan pola berpikir kita, sehingga tak ada yang berubah ketika tangan tidak berubah. Kesuksesan dunia maupun akhirat tidak diukur dengan materi. Seperti kata pepatah Cina, pohon akan berbuah seiring dengan langkah kaki. Kesuksesan tidak dinanti tetapi disongsong.
Jadi, memaknai kegagalan tidak selalu berarti negatif. Pelajaran yang dapat diambil dari sebuah kegagalan adalah langkah awal kita dalam menyongsong sebuah kesuksesan. Kesuksesan dari bawah akan menyangga kesuksesan yang lebih besar. Tinggal, bagaimana kita mempersembahkan kesuksesan itu untuk negara. Apakah kita akan menanggapi tantangan itu, ataukah menjaga optimis untuk merubah bangsa kita ini.
Wallahu a’lam.
Isdiyono, Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta
Alhamdulillah nampang di Merapi 14 Juni 2010
Alhamdulillah nampang di Merapi 14 Juni 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagi yang mengkopi, Tinggalkan Koment ya...makasih. Hehe