Senin, 21 Juni 2010

Dana Aspirasi DPR

Permasalahan bangsa yang membuat panggung politik kacau ini ternyata telah membuat para wakil rakyat frustasi. Anggaran untuk dana aspirasi adalah bukti bahwa para wakil rakyat mengalami sindrom down. Dalam artian, mental mereka dalam mendidik rakyat sudah menyimpang dari prinsip

Ketika mendengar rencana tentang dana aspirasi sebesar 15M per daerah pemilihan ini, saya jadi teringat slogan populer iklan yang tak lagi muncul. “Kalau bisa dipermudah, kenapa dipersulit.” Plesetannya jadi, kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah. Nah, ini dia yang saya maksudkan, ide dana aspirasi ini tak ubahnya kondisi mempersulit diri.

Rencana awal yang digaungkan oleh mereka yang mengusulkan adalah untuk mempercepat pembangunan. Kinerja pemerintah dalam memetakan wilayah dalam pembangunan dinilai lambat. Sehingga, pemerataan pembangunan pun dianggap kurang bisa memfasilitasi semua wilayah. Tetapi, pertanyaannya adalah apakah dana ‘sebesar’ itu bisa untuk mempercepat pembangunan?

Sebuah pertanyaan kritis untuk membentuk kerangkan berpikir bahwa pengusulan dana itu rawan akan mafia kasus. Pada tingkat pusat, dananya masih bisa utuh. Tetapi, seperti biasa, makin ke bawah pasti makin disunat. Kenyataan ini memang benar-benar terbukti masih menjadi bagian yang tumbuh dalam hati kecil para pemimpin Indonesia.

Begitupula dalam kasus ini, usulan untuk memberikan anggota legislatif adalah sebuah usulan jenius, sekaligus bodoh. Jenius karena memang rakyat kita membutuhkan uang untuk mengembangkan perekonomiannya. Tetapi, bodoh karena mendeskreditkan peran Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal (Menteri PDT).

Dana 15 M yang dipukul rata tentu menjadi langkah yang kurang bijaksana mengingat wilayah di setiap dapil tidaklah sama. Coba saja kita bandingkan D.I.Yogyakarta dengan Provinsi Jawa Tengah, tentu saja perbedaannya sangat kontras. Perbedaan luas wilayah menjadi sebuah fakta yang terelakkan bahwa dana meluncurkan dana itu untuk wilayah yang luas sama saja dengan menggarami lautan. Asinnya tak akan terasakan oleh ikan yang berenang di dalamnya. Ibarat ikan di lautan, rakyat sudah tidak memerlukan garam lagi untuk bertahan hidup. Masyarakat sudah mengerti bahwa politik uang tak dapat meningkatkan kehidupan.

Ketika nanti usulan itu diterima, maka yang paling tidak menerima adalah Menteri DPT. Pasalnya, setiap daerah sudah mengagendakan pembangunannya melalui Badan Pembangunan Daerah (Bappeda) masing-masing. Program selama jangka waktu lima tahun maupun yang berjangka pendek tahunan. Dana yang digunakan pun biasanya masih tersisa banyak. Usul dana aspirasi hanyalah akan menambah kerawanan makelar kasus (Markus).

Sudah seharusnya DPR membuat kebijakan yang diluluskan melalui jalan yang benar. Adakah jalan lain yang lebih baik dari sekedar mengurusi dana aspirasi yang belum jelas mekanismenya. Kebijakan yang melangkahi tugas menteri adalah kesia-siaan.

Isdiyono, Mahasiswa FIP
Universitas Negeri Yogyakarta

2 komentar:

  1. dana aspirasi 15 per dapil hanyalah upaya pengurasan dana rakyat. bukan malah memberikan yang terbaik untuk rakyat. ketika usulan itu memang benar terealisasikan, maka akan ada indikasi bahwa hanya 20% saja dana itu akan di berika kepada yg berhak(rakyat, red) atau bahkan tidak sampai 20%...
    80% nya kemana?
    80% inilah yang akan diperebutkan oleh mereka2 yang perut buncit itu!

    sampai sekarang saja dana 20% pendidikan tidak jelas arahnya...

    maka bersama2 kita katakan dengan tegas :
    TOLAK USULAN DANA 15M/DAPIL untuk anggota dewan!

    (mahasiswa akan mengawal!)

    BalasHapus
  2. Oke...
    saya juga sepakat. Ini salah satu zdholimisasi lembaga kementrian yang laen. Buat apa susah2 membangun kementrian PDT kalau ada dana aspirasi? Lha wong anggaran beasiswa kabupaten saja sisa banyak kok, ada pelajar yang mau mengambil haknya dipersulit?
    Inilah bentuk politik yang kurang tepat.

    BalasHapus

Bagi yang mengkopi, Tinggalkan Koment ya...makasih. Hehe