Senin, 22 Februari 2010
Anak Berkebutuhan Khusus
Minggu, 21 Februari 2010
Be The Real Teacher
Ketika hati telah terpaut, saat itulah segalanya seperti menjadi mudah. Tekad sebagai sebuah modal awal, akan mudah dicari. Namun, ketika hati merasa terpaksa, butuh seribu tahun untuk menyembuhkannya.
Apalagi, jika luka yang menganga itu terlalu dalam. Terlalu sulit untuk disembuhkan.Begitulah hidupku kini, serba salah ketika berusaha untuk tegar menatap masa depan. Meski, kata orang jalanku sudah kelihatan terang, namun begiku belum.
Kulihat mereka yang mengatakan hal tersebut tak lebih bermata uang. Mengajar bukan sebagai sebuah keinginan, kehendak hati, tetapi karena paksaan, tekanan dari orang tua atau orang lain yang terlalu mencampuri dunia pribadi. Mungkin nasibku tak seburuk mereka, karena bisa menentukan masa depanku sendiri. Tak lain adalah karena orang tua tidak tahu perihal mencapai mimpi itu.
Tetapi, bagaimanapun keadaan ini terlalu menyiksa. Raga mungkin sudah memahami situasi dan kondisi, tetapi hati entah ke mana.Harapanku, bahwa anak-anak memang membutuhkanku. Begitulah setiap kali coba menghibur diri.
Berusaha tegar, ketika air mata sedikit lagi akan menetes, membasahi bumi dan ingin sekali menumpahkan beban. Seolah berusaha jujur pada hati, bahwa hidup adalah pilihan. Bahwa setiap pilihan itu adalah sebuah resiko yang harus diakhiri hingga akhir. Tidak boleh sepenggal, seperti ketika Sang Penandai1) meniupkan mimpi. Tak seorangpun dapat menghentikan kisah ini.
Dalam keadaan yang terluka, berusaha menyusun kata demi kata yang hilang. Berusaha menyatukannya dalam sebuah gambar utuh. Namun, setiap keping adalah misteri dan setiap misteri tak akan terungkap hingga perjalanan ini berakhir. Harus ada kalimat yang tersusun, harus ada gambar yang berbentuk dan harus ada senyum yang terkembang.
Cita-citaku pada waktu kecil mungkin tak akan pernah terjadi, karena kini diri ini terjebak pada dunia yang membutuhkan kesabaran. Sederhana saja, dulu sekali pernah diri ini menjadi seorang tentara yang gagah berani memanggul senjata. Sepertinya itulah profesi yang baik dan bermanfaat bagi negeri ini. Sebuah negeri yang sedang bergolak oleh carut-marut perebutan kekuasaan. Bahwa menjadi tentara adalah sebuah solusi.
Namun, setelah mata ini bisa melihat dunia, seluruh gambaran itu seolah lenyap diterpa oleh angin. Ternyata, banyak juga tentara yang kurang ajar, desertir atau lupa dengan tanggung jawabnya. Negara seolah menjadi lahan untuk mengeruk uang sebanyak-banyaknya. Mengannggap bahwa negara bisa dengan mudah dikendalikan oleh senjata.
Ternyata pemikiranku keliru. Ada banyak profesi yang menawarkan kebaikan, tanpa harus menodai tangan dengan darah. Negara ini butuh otak-otak bijaksana yang tidak hanya memikirkan perang. Ada profesi yang lebih penting yaitu mendidik anak agar pemikirannya lurus, tidak mendewakan kekacauan dalam menjalani kehidupan.
Dunia ini membutuhkan sebuah perasaan aman, perasaan saling memahami dan saling menyayangi. Kemudian, terdamparlah diri ini pada dunia yang berkebalikan 900. Sebuah dunia yang mungkin akan sangat berat untuk dilalui, dunia anak-anak.
Begitulah, hingga akhirnya secara tidak sengaja kaki ini telah berlabuh di sebuah sekolah dasar di tengah perkotaan. Berusaha menjadi seorang guru, meski tak tahu apa yang harus dilakukan. Banyak orang yang nyaman ketika mengajar anak-anak, namun tidak bagi seorang yang tak memiliki panggilan hati.
Padahal, mereka membutuhkan kita untuk menuju pada kehidupannya. Belajar merangkai kata untuk menuliskan kisah hidupnya. Akupun bertanya pada diri ini, apakah aku pantas ?
Namun, harapan itu masih ada, ketika usaha dan kemauan masih tertanam di ubun-ubun. Pintaku cuma satu, yaitu agar diri ini mendapat kepastian. Bahwa menjadi seorang guru sekolah dasar adalah takdirku. Jalan yang berliku, bahkan hanya untuk sekedar mencari jawaban saja. Begitu sulit, namun apakah aku harus menyerah ?
Sekali-kali tidak ! Berusaha tegar, merangkai kata demi kata. Berusaha menyusun huruf satu per satu. Hingga, pada akhirnya akan tertulis dalam dada ini : “G-U-R-U-S-E-K-O-L-A-H-D-A-S-A-R...”
Sabtu, 20 Februari 2010
Makna Revitalisasi Gerakan Pramuka
Hari ini, terasa sulit bagi anak menemukan ruang dan waktu untuk mengenal lingkungannya. Sehingga, tidak heran jika anak seolah dipaksa untuk memasuki dunia kompetisi, entah dalam hal kognisi maupun prestasi. Tetapi, kebanyakan tujuan bukan untuk pendidikan ataupun prestasi, tetapi sekedar memenuhi gengsi. Orang tua memaksa anak untuk berkembang sesuai dengan ambisi, bukan keinginannya sendiri. Kebebasan anak dalam mengembangkan kecerdasan sosialnya seolah dibatasi oleh penjara bernama tempat dan waktu.
Kepemimpinan Itu Dinamis, Kawan...
Pahlawan Kecil Itu...
Hari-hari orang tua adalah penantian. Dan yang membuat tubuh tua itu tetap bertahan pada keyakinannya adalah ketika tubuh ini teringat. Akan sebuah mimpi, sebuah khayalan yang terlihat terang di antara kedua bola matamu. Ya, meski kau tutupi, mata ini masih bisa melihatnya dengan jelas. Ya, mata ini tak dapat ditpu.
Dan ketika kau mulai mengenal dunia, berusaha memahami, apa arti tiap hembusan napas itu. Mengidera dengan mata, tangan, lidah, telinga dan hidung. Seolah ingin mengenal dan mengenalkan diri pada dunia. Dan kau pikir dunia itu indah, penuh bunga, pelangi dan serba sweet.
Pada saat itulah kau mulai meraba, bahwa dunia ini terlalu kejam untukmu. Semua seolah mengintervensi, menghujat, menginginkanmu menjadi seperti apa yang ada di dalam kepala mereka. Terekploitasi.
Ah, tidak, sekali-kali tidak. Pasti kau yakin bahwa dengan mengenal dunia, maka mereka mengenalmu.
Sungguh kau adalah pahlawan kecilku. Dari semua manusia yang aku temui, kau adalah pahlawanku. Menghiasi waktu luangku. Benarkah kau pahlawanku ? Atau jangan-jangan, aku juga termasuk mereka yang mengeksplorasimu ?
Untuk eksperimen ? Percobaan ?
Ah, dunia ini sungguh begitu sempit.
Saat kau tersenyum, saat itulah aku bahagia. Saat kau paham dengan apa yang kuucapkan, nikmat yang luar biasa bagiku, ketika diri ini dapat diterima. Untuk menjagamu, meski hanya sesaat dan hanya sebagai pengisi waktu luang.
‘Ah...kalau begitu aku kejam ?” begitulah pikirku.
Ingatkah kau akan saat-saat itu ?
Ya,
Benar,
Kau benar,
Saat sepeda tua itu melaju, kugendong kau
Dan kau pun tak mau turun, kurasakan bahwa rasa ingintahumu itu tinggi
Sesampainya di sawah, mendengarkan nyanyian katak, menyaksikan bergoyangnya padi yang hijau. Di langit burung-burung walet beterbangan, sesekali ada sekawanan burung emprit. Dan kau bertanya, terus dan terus bertanya, burung apa itu kak ?
Kujawab, burung emprit
Burung emprit ya kak ?
Ya, betul sekali
Dan pada suatu saat, aku ingat betul, kau bertanya pada sekawanan burung putih yang melintas. Beterbangan, menyebar, membentuk formasi, bergerombol. Seolah memenuhi angkasa, memamerkan sayap di antara mega yang tak beraturan. Begitu indah dan begitu anggun, betapa makna persahabatan dan kesatuan tak pernah lepas darimu. Sang seniman langit, penakluk jagad, menjelajahi petak demi petak sawah. Untuk berjuang, makan, berjuang untuk hidup.
Kujawab, burung Kuntul
Burung apa ? Un....
Ting...
Kuntul
Unting...
Ah, memang kau sangat lucu.
Namun, saat-saat kebahagiaanku itu, sekarang tinggal cerita saja. Kau sudah banyak mengenal dunia dengan segala aktivitasnya. Rupa-rupa orang telah kau jumpai, wataknya, pribadinya hingga karakteristik dan kelicikannya. Saatnya kau terjun dalam duniamu, mengurai mimpi, merealisasikan asa hingga menjadi sebuah kenyataan, begitu hidup dan menghidupkan.
Ya, sudah saatnya kau mengenal kata mandiri, dan aku kembali menjadi seorang tua yang tak berguna. Meniti hidup, mengurai kembali hari yang telah berlalu. Bukan demi apapun, tetapi untuk berjuang, maju, menuju sebuah masa depan. Ya, genggamlah masa depan itu, raih mimpimu.
Biarlah tubuh tua ini mati, menjadi tanah, terkubur di tanah ini. Namun, kuharap kau tetap melanjutkan mimpi itu. Untuk sebuah harapan dan mimpi seorang tua bodoh yang berusaha mengendalikan dunia. Dengan tangan kosongnya, dengan keegoisannya. Ah, dunia anak memang bukan untuk orang-orang yang sudah bau tanah.
Biarlah bunga menjadi keseharian ini, menemani detik-detik terakhir. Bukan kalungan bunga, atau siraman bunga yang kuharap. Tetapi, kau harus menjadi apa yang telah kau impikan. Ya, teruslah melaju, menggapai mimpi. Dunia ini bukanlah untuk yang tua.
Sudah saatnya kami yang tua ini menyingkir. Menepi dari modernisasi yang semakin tak kumengerti ini. Entah sampai kapan aku bisa melihatmu.
Semoga tak sampai tanah, ketika mata ini melihat kau menggenggam dunia. Menerobos cakrawala yang seolah tiada berujung.
Bukankah itu mimpimu ?
Bermimpilah!!!
Terus dan wujudkan!
Biarlah tubuh tua ini yang berakhir!!!
Bukan kau, anakku!
Isdiyono, 28 Desember 2009
Jumat, 19 Februari 2010
Ketika Gadis Kecil Itu Bertanya Pada Seorang Gelandangan
Selimut malam mulai menyelimuti cahaya
Perlahan, dengan perlahan kabut turun
Tak memberi waktu malam untuk menutup rapat jendela waktu
Terus begitu
Saat itulah, seorang gadis kecil berjalan gontai
Matanya merah, habis menangis tetapi coba ditutupi
Namun ia tak pandai menipu
Masih saja air mata itu beruraian...
Wahai seniman yang agung...
Apakah yang membuatmu bisa membuat sebait lagu yang indah itu ?
Aku tadi mendengarnya...
Indah, mendayu dan...
Aku suka itu...
Bahasanya adalah bahasa sederhana
Kata-katanya adalah untaian air mata
Sungguh membuatku berurai air mata...
Maukah engkau menjawabnya untukku ?
Dan sang anak jalanan diam
Tangannya meraih gitarnya yang tersampir
Mulai menjentikkan jari-jarinya dengan anggun
Pelan...
Hingga suara yang terciptanya pun begitu lembut
Hingga keheningan malam itu pecah...
Rasakan, tutup matamu, dengarllah bimbingan alam...
Pelan-pelan, dengan pasti...
Bahwa setiap manusia itu memiliki bahasanya sendiri
Rabu, 17 Februari 2010
Di Sebuah Pagi
Pagi yang cerah, jam pertama sudah kosong. Padahal, kulihat teman-teman antusias menunggu Bu Condro. Berharap segera berkuliah seperti biasanya, merangkai kata, menebak angka, mengoperasikan rumus hingga menyimpulkan hasilnya. Sepertinya, kerinduan itu sudah memuncak.
Namun, apa daya mungkin beliau terlalu sibuk, sehingga jam pertama pun kosong. Sebelumnya, kami semua dibuat jengkel dengan kelakuan pak Kebon yang seenaknya molor. Sehingga, gerbang kampus belum terbuka meskipun jam sudah menunjukkan pukul 07.45.
Yah, itulah manusia lawas, terkadang hanya ingin enaknya saja, menceritakan pengabdiannya, padahal keprofesionalitasannya diragukan. Hal ini tercermin dari kejadian tadi pagi. Bagaimana kampus mau maju kalau tukang kebonnya males-malesan, apalagi penjaga perpusnya tidak konsisten. Merokok, pake sandal, tetapi bias-bisanya menyuruh orang lain untuk tertib. Sungguh tidak adil, memakan gaji buta. Tidak professional.
Huff, waktu terus bergulir, jam dinding tak ingin berhenti berdetak. Seolah menyombongkan diri bahwa dialah yang paling berjasa dalam menghakimi momentum. Bahwa semua orang membutuhkan jam dinding. Murid yang mengharapkan jam pulang sekolah, karyawan yang terus melihat jam ketika tangannya bergerak, dosen yang perfek, hingga mahasiswa yang tidak sabaran untuk pulang. Hehe…
Ya, waktu adalah sebuah kunci, begitulah yang kudapat dari orang-orang yang sudah terlebih dahulu menemukan ‘dirinya’. Seolah, mereka telah dapat menguasai waktu. Dunia dalam genggamannya, semua dapat diatur ketika apa yang ingin dilakukannya dalam satuan waktu, telah tertulis rapi sebagai sebuah rangkaian angka-angka penuh makna.
Dalam keterbatasannya, manusia terkadang berusaha untuk menutupinya. Entah dengan apa, tetapi berusaha menyombongkan diri untuk menjadi yang terbaik. Ya, alasannya apalagi kalau bukan karena bahwa yang terbaik itu hanyalah ada satu saja.
Waktu cepat berlalu, seolah perpustakaan hanyalah tempat untuk beristirahat. Padahal, pertempuran sesungguhnya sedang terjadi. Kelelahan yang menumpuk itu ditambah dengan kenyataan bahwa pengetahuan akan bertambah dengan membaca banyak wacana. Sesuai dengan prinsip, bahwa memanfaatkan waktu luang sebelum sempit adalah sebuah ajaran sesungguhnya. Bagian dari sebuah kesuksesan yang tak terbantahkan lagi.
Begitulah, dii ini yang terlalu bodoh, berusaha berbicara tentang kebaikan. Berusaha untuk mengungkapkan apa yang selama ini hanya bias dipendam. Entah kenapa, perasaan plong baru terasa ketika semua yang ada di kepala dapat dikeluarkan. Meskipun hanya satu kata.
Pak Suhardi, dosen yang mengisi pada siang itu. Waktu demi waktu begitu cepat mengalir. Namun, terasa lambat karena hamper kupastikan bahwa tak ada mahasiswa kelas s4b yang paham dengan apa yang beliau sampaikan. Dalam pertemuan pertamanya, dia lupa menyebut nama. Mungkin dia penggemar berat Shakespeare, “…apalah arti sebuah nama…” Menceritakan pengalamannya, bahwa hidup itu akan terasa indah ketika kita memegang teguh sebuah prinsip. Satu kata yang bias menggenggam dunia. ‘kejujuran’.
Isdiyono Rabu, 17 Februari 2010
Bintang Itu Terang Ya ?
Dan memang, dingin menjadi sebuah kondisi yang sulit dihindari, membuat sakit para mahkluk berdarah panas. Terkungkung rapi di tempat tidur. Tak ada kata, yang diingininya hanyalah tidur menelungkup, ditemani camilan. Tidak tahu bahwa di luar hujan sedang membisikkan sebuah prahara. Peristiwa bodoh yang memang akhir-akhir ini sering terjadi.
Bunuh diri, dua kata sendsitif yang menjadi Senjata ampuh seseorang untuk lari, menghindari dari nasib yang telah digariskan. Seolah melakukan keputusan yang benar, tetapi sebenarnya telah melakukan kekonyolan. Bahwa nasib itu hanya bisa diubah oleh seseorang yang mau mengubah sendiri nasibnya, itulah yang tertulis dalam pedoman hidup. Kitab yang mencegah kita terjebak dalam kepalsuan dunia. Bahwa setan tidak akan puas sebelum melihat manusia mengikuti jalannya, sebanyak-banyaknya.
Beberapa waktu lalu telah kuceritakan,Perhal tewasnya seorang karena menggantungkan lehernya di bawah pohon. Berharap semua masalah yang ditujukannya berakhir pada saat itu juga. Padahal, bumi pun tidak akan rela dan menerima seorang yang putus asa.
Hanya karena sedikit utang, bahkan tak ada saudara atau tetangga yang sudi dengan nasibnya. Kita terkadang terlupa, bahwa kesusahan seorang muslim adalah kesusahan kita. Bahwa Sang Tauladan kita pernah mengatakan bahwa, barangsiapa menghilangkan salah satu kesusahan dari seorang mukmin, maka Allah akan menghilangkan salah satu kesusahannya di hari kiamat. Barangsiapa yang memberi kemudahan seseorang yang kesulitan, maka Allah akan memberikan kemudahan padanya dunia dan akhirat…”
Ya, terkadang kita lupa, dan memang manusia adalah tempatnya lupa. Tetapi, mari kita selalu berdo’a, bahwa dalam kelupaan itu, kita rindu akan teguran-Nya. Kita bukanlah siapa-siapa jika dilihat dari atas. Kalau tidak percaya, lihat saja di mana kita sekarang sedang berada. Teknologi membantu kita agar mempermudah melihat dunia. Ketika google.maps, maka akan terbentang dunia yang luas ini. Dengan beberapa kali klik saja, maka tempat kita terlihat dari atas. Subhanallah.
Kaget diri ini, ketika mendengar kabar, bahwa sesat sebelum pulang, ada berita heboh. Ada seorang yang menceburkan diri dalam gejolak air sungai yang sedang menggelora. Cokelatnya air, arusnya yang deras, kedalamannya bisa membuat orang tenggelam. Dan itulah yang dilakukan gadis itu.
Yang lebih mengagetkan lagi adalah, bahwa dia adalah temanku di smp dulu. Seorang gadis yang cerdas, yang ingin kukalahkan kecerdasannya. Dengan bekal semangat dan kerja keras. Semoga Allah mengingatkannya. Sesungguhnya, di balik musibah itu ada pelajaran yang tersirat kan ?
Ya, bersyukur diri ini ketika menyadari bahwa ayah ,asih bersemangat, bahkan semangatnya melebihiku. Seharusnya aku malu, ketika sedikit-sedikit mengeluh. Padahal, beliau mengayuh becaknya sejauh dua puluh lima kilometer. Belum lagi jika nanti mendapat penumpang. Beratnya pasti bertambah. Dan kuberharap bahwa di setiap langkahnya, Allah memberikan kebahagiaan padanya.
Ibu pun tidak kalah hebat. Dalam kesendirian, selalu berusaha menyembunyikan kesedihannya. Ketika teringat bahwa tak ada yang dipunyainya tak bisa untuk diberikan pada anaknya. Bahwa air matanya sewaktu-waktu bisa menetes, ketika sang anak ingin meminta sesuatu. Yang kalau meminta tidak cukup sedikit, tetapi menuntut sempurna.
Ketika sampai malam seluruh keluarganya pergi, dia sendiri. Ditemani oleh dinginnya angin yang masuk lewat pintu yang tidak tertutup. Betapa nyamuk adalah kawan setianya. Betapa matanya selalu terlihat sembab ketika kuketuk pintu, dan dibukanya, masih salam kondisi belum tersadarkan.
Setiap hari bangun pagi, dengan ikhlas telah memberikan apa yang dipunyainya untuk keluarga. Bukan harta, karena uang pun tak ada. Makan selalu berhutang, sehingga harus mengeraskan hati. Meski terkadang hatinya tak kuasa untuk menahan semua cemoohan tetangga. Bahwa hanya untuk menyumbang hujatan pun harus diiringi dengan tangis. Bahwa masyarakat tidak peduli. Dan ketika tidak muncul, tak henti mulut-mulut tajam itu merobek pertahanan terakhirnya.
Menangis hati ini, ketika engkau menginginkan sebuah televise, sekedar untuk hiburan. Bahwa televise bisa menghilangkan kesedihan itu. Tapi, aku tidak ingin membelinya, karena sadar kita belum bisa hidup selayaknya orang-orang. Selalu menjadi kaum rendahan, meskipun berusaha untuk tidak berpikir seperti itu.
Maaf, diri ini belum mau membeli, bukan karena tidak mampu, tetapi karena takut kalau nanti menganggu sebuah ambisi. Sebuah keinginan yang sekian lama ditunggu, dirahasiakan. Selalu berusaha tegar ketika berbicara tentang pendidikan. Bahwa diri ini takut semakin membuatmu sedih, ketika diri ini ingin mencapai bintang di langit.
Bahwa langit itu luas bu, dan diri ini ingin mengangkat engkau ke atas. Menapaki salah satu bintang yang paling terang. Restumu selalu kunanti, bahwa engkau selalu mengingatkan ketika jalan menuju bintang itu salah. Harus melalui jalan yang benar.
Bahwa, maafkan diri ini yang tidak sanggup mengungkapkannya, karena tak ingin engkau menangis lagi. Ijinkanlah diri ini untuk melanjutkan mimpi, meski terkadang diri ini ingin menangis, karena ingin engkau tahu tentang jalan yang ditempuh anakmu ini.
Maaf, entah harus bagaimana diri ini membalas segala ketulusan itu. Maaf jika terkadang memaksa ibu untuk melakukan pikiran bodoh ini. Bukan karena ingin sok pandai, tetapi diri ini hanya ingin engkau tersenyum, dalam pangkuan Sang Rabb. Hanya saja, mungkin caranya yang salah, karena keterbatasan pengetahuan.
Dan ijinkanlah diri ini memberitahukan segala kesedihan itu, ketika bintang telah dapat kujangkau. Bahwa diri ini selalu berusaha untuk ingat dan tidak ingin membuatmu menangis. Nanti, akan kuceritakan segala kesedihan itu. Dan biarlah semua pengorbanan ini, sebagai penawar segala kesedihanku, kesusahan. Karena, terpikir bahwa diri ini tidak berhak susah, sesusah engkau. Tapi, kuharap engkau tak sesusah yang kubayangkan.
Bahwa diri ini selalu berdusta, mengumbar senyum meskipun sebenarnya tak rela dengan nasib. Untuk itulah, aku minta ijinmu untuk merubah kita. Bahwa kegembiraan terbesar adalah ketika berhasil membuatmu tersenyum. Meskipun terkadang tak begitu mengungkapkan masalah. Cenderung karena tak ingin menambah panjang tangismu.
Bahwa, jika nanti kita telah sampai ke bintang, jangan sampai kita lupa. Pada orang-orang yang seperti kita. Bahwa hidup itu adalah amanah. Hidup bukanlah kesia-siaan, meskipun belum ada penelitian yang menyebutkan tentang jalan yang lurus. Cukuplah dua tali itu menjadi panduan kita menuju kebenaran.
Bukan malah menjadi dan meniru kelakuan orang-orang yang sudah bosan menanggung beban hidup. Bahwa, meskipun sekarang kita adalah kaum yang tergolong miskin, tetapi jangan perlihatkan kemiskinan kita. Jangan sampai kita miskin hati. Hati ini terlalu luas, tak akan habis jika dibagikan.
Cukuplah mereka yang bunuh diri itu menjadi pelajaran. Bahwa diri ini mengajak dan berkeinginan saling mengingatkan agar tidak lupa jalan yang lurus. Jalan yang sudah digariskan pada manusia.
Dan untuk adek, ehem! jangan pernah putus asa. Terkadang kata-kata yang keluar dari mulut ini terlalu kasar. Sebenarnya hanya tidak ingin kau tersesat, dalam kenikmatan yang sesat. Bahwa kenikmatan yang hakiki itu masih jauh, panjang dan terbentang. Kita belumlah pantas untuk bersenang-senang.
Biarlah kawan-kawanmu mengasapi mukamu ketika berangkat sekolah. Tapi jangan dibalas suatu hari kelak, do’akan agar mereka diberi petunjuk. Jangan membuat ibu di rumah menangis, karena tuntutan itu.
Dan bagi diri ini, semoga menjadi seorang yang berguna. Entah sekecil apapun. Hmmm…Semoga menjadi seorang yang pandai bersyukur. Berusaha untuk berubah, sedikit demi sedikit. Bahwa diri ini terlalu bodoh untuk memberikan sesuatu nasehat pada orang lain. Maafkanlah, semua kesalahanku ini Ya Allah. Berilah petunjuk agar selalu ingat pada-Mu.
Alangkah indahnya, seandainya maut menjemput kita ketika sedang berurai air mata. Merasakan manisnya iman dalam sujud., penghambaan, rindu akan perjumpaan dengan-Nya. (inspirasi di rentalan)
Isdiyono, Sabtu 13 Februari 2010
Selasa, 16 Februari 2010
Makna Revitalisasi Gerakan Pramuka
Menggagas Pendidikan Murah
Oleh : Isdiyono*
Di sepanjang jalanan, di tengah hingar-bingar lampu malam, sekelompok anak berkumpul, mendendangkan sebuah lagu. Mereka menghabiskan malam dengan menikmati hidup di bawah sinar lampu jalan, ditemani asap rokok yang tak berhenti mengepul dan tidak jarang pula minuman keras, hingga narkoba. Masa depannya suram, sesuram malam yang dijadikannya tempat berlindung. Tempat melarikan diri dari pahitnya kenyataan hidup. Bahwa mereka harus berjuang untuk bertahan hidup, mencari identitas diri dan kebebasan.
Begitulah sedikit gambaran yang muncul ketika kita berjalan pada malam hari di sepanjang jalur perkotaan. Anak jalanan telah berkembang menjadi sebuah masalah yang tak kunjung usai. Keberadaannya serba membuat dilema bagi pemerintah maupun masyarakat.
Bagaimanapun, mereka adalah bagian dari kita. Mereka adalah bagian dari anak-anak yang di masa mendatang diharapkan membangun bangsa. Keberlangsungan dan kemajuan bangsa tergantung dari kualitas dan pemikian pemudanya.
Pada dasarnya, negara memiliki kewajiban untuk kewajiban untuk mengentaskan mereka dari kemiskinan dan kebodohan, terutama dalam berpikir. Sesuai dengan UUD 1945 pasal 34 yang telah dengan jelas bahwa anak terlantar dan fakir miskin dipelihara oleh negara. Memang, untuk merealisasikannya bukanlah pekerjaan yang mudah. Namun, setidaknya kondisi anak jalanan yang kian bertambah ini perlu diperhatikan.
Kemiskinan
Fenomena meningkatnya jumlah anak jalanan ini dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor. Salah satu factor dominan adalah kemiskinan, ya kemiskinan yang tidak kunjung berkurang ini telah mendorong rakyat pedesaan melakukan urbanisasi besar-besaran. Alasannya adalah bahwa harga kebutuhan pokok yang tak kunjung usai. Kota menjanjikan penghidupan yang layak, di mana tenaga ataupun modal kemampuan yang sedikit dapat digunakan untuk menghasilkan uang.
Mereka datang ke kota juga tidak disertai dengan kualitas dan kemampuan yang memadai. Akhirnya, pekerjaan apapun mereka lakukan untuk bertahan hidup. Kemegahan kota telah menjelma menjadi candu yang kuat untuk bertahan. Kemudian menetap dan berkeluarga di kota meskipun tidak memiliki tempat tinggal. Dan anak-anak yang dilahirkan pun akhirnya juga terlahir tanpa tempat tinggal.
Tumbuh dan berkembang di lingkungan yang keras dan mengutamakan kerja telah membuat kehidupan mereka tidak terarah. Hidup di jalanan yang keras telah membentuk mereka menjadi manusia yang tangguh dalam memenangkan kompetisi.
Pada kondisi yang demikian, mereka tidak lagi tertarik dengan pendidikan. Pendidikan yang mahal, berstandar tinggi tetapi tidak jujur, komersialisasi pendidikan dan diskriminasi telah membuat mereka tak bermimpi untuk sekolah setinggi-tingginya. Apalagi, jika mereka berpikir kalau setelah, katakanlah lulus SMA, hanya meneruskan perjuangan orang tuanya di kota, memperpanjang kisah hidup di jalanan.
Sekolah sejauh ini tampaknya belum begitu familiar bagi mereka. Bagaimana mau tertarik sekolah setinggi-tingginya kalau untuk membayar biaya sekolah saja tidak mampu ? Berbagai beasiswa ataupun sekolah gratis tidak begitu menolong. Apalagi beban mental yang disandang ketika bertenu dengan teman-teman yang borju.
Padahal, pendidikan adalah salah satu jalan yang bias mengubah nasib mereka, sekaligus dengan pemikirannya. Dengan pemikiran yang progresif, maka semangat untuk memperbaiki nasib akan muncul. Sedikit demi sedikit akan memunculkan semangat untuk tidak lagi hidup di jalanan.
Berkaca dari India
Dalam hal pendidikan, bahkan kita masih kalah disbanding dengan India. Sebuah negara dengan penduduk tertinggi nomor 3 dunia dengan wilayah yang cukup kecil. Negara yang sering digambarkan dengan kondisi rakyatnya yang miskin. Namun, jangan ditanya soal pendidikan dan perkembangan teknologinya. Sudah sangat jauh dibanding dengan Indonesia.
Pendidikan yang maju itu tidak begitu saja didapat, seperti mendapat durian runtuh. Tetapi melalui proses panjang dan berliku. Salah satu kebijakan yang pantas untuk ditiru adalah komitmen mereka untuk menyelenggarakan pendidikan murah dan bermutu tinggi.
Bayangkan saja, untuk menyelesaikan jenjang SI, seseorang hanya merogoh kocek sebesar 2 juta saja, S2 tak lebih dari 4 juta dan S3 tak lebih dari 6 juta (Kompas,12/12/09) Bandingkan dengan biaya masuk perguruan tinggi di Indonesia. Rata-rata saja seorang mahasiswa baru menghabiskan 15 juta untuk menyelesaikan S1 di universitas yang dianggap murah. Apalagi untuk biaya masuk minimal sudah mencapai 6 juta, belum lagi jika lewat jalur-jalur belakang yang lebih banyak lagi.
Itulah mengapa banyak siswa yang memilih tidak melanjutkan sekolah di perguruan tinggi. Pekerjaan seadanya menjadi pelarian dari kejamnya pendidikan. Biaya yang begitu tinggi telah menghalangi mimpi mereka. Mengubur dalam-dalam cita-cita membangun bangsa. Pendidikan mahal dengan mutu yang kurang telah mempersulit pendidikan kita untuk maju.
Maka, sudah seharusnya pendidikan yang murah dan bermutu tinggi sudah sangat mendesak untuk diwujudkan. Tidak perlu menunggu waktu dan pertimbangan, seperti yang sudah diamanahkan oleh UNICEF bahwa setiap Negara harus menyelenggarakan pendidikan gratis bagi rakyatnya. Program seratus hari Mendiknas harapan kita semua adalah sudah bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Bukan hanya sekedar alat untuk melanggengkan kekuasaan.
Sehingga, anak-anak jalanan tak lagi menjadi pemandangan kita sehari-hari. Pendidikan dibutuhkan untuk mengubah pola pikir, sekaligus memerikan kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk mendapatkan akses pendidikan yang sama.
Tulisan ini dimuat di Koran Merapi Rabu, 10 Februari 2010
*Isdiyono, Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta
Bergiat di forum Gapura Trans-f