Senin, 22 Februari 2010

Anak Berkebutuhan Khusus


Dalam hidup ada keseimbangan, dalam keseimbangan itu ada yang dilebihkan dan ada yang dikurangkan. Melepaskan diri dari sebuah kebiasaan, atau kenormalan adalah sebuah pekerjaan yang luar biasa. Karena, terkadang kita lengah pada keadaan yang biasa, tidak sempat memikirkan sesuatu potensi yang luar biasa dari keadaan yang tidak biasa-biasa saja.
Begitulah gambaran ketika kita mencoba untuk mengenal mereka yang membutuhkan perhatian khusus. Baik yang ada di atas kebiasaan, maupun di bawah kebiasaan. Pendidikan selalu mengisyaratkan arti pentingnya tujuan yang tertuju pada perubahan perilaku. Pendidikan dilaksanakan untuk menggali potensi-potensi baik dari peserta didik dalam menjalani kehidupannya.
Pendidikan selalu mengedepankan humanisme, memanusiakan manusia. Pendidikan tidak berhak mengeliminasi segolongan kelompok hanya karena alas an berbeda. Lebih tepatnya, diskriminasi terhadap kekurangan, kecacatan dan semua yang dianggap berbeda.
Dalam bukunya, Inklusi : Sekolah Ramah untuk Semua, David Smith berusaha menggambarkan anak-anak yang kurang beruntung dalam kalimat-kalimatnya. “Anak-anak dengan keterbatasan mempunyai hak untuk dinilai dan dilibatkan secara penuh dalam kehidupan sekolah kita. Orang dewasa dengan keterbatasannya perlu dilihat bukan sebagai orang yang khilangan, tetapi seseorang yang kehadirannya kita terima.”
Pada kenyataannya, sekolah sebagai tempat pertukaran ilmu berlangsung adalah tempat cocok untuk menerapkan keadilan memperoleh pendidikan yang layak. Pendidikan untuk semua, karena pada kenyataannya sekolah-sekolah yang dianggap normal selalu saja mendapati peserta didiknya membutuhkan perhatian yang lebih.
Perbedaan antara seorang peserta didik biasa dengan yang luar biasa memang sulit. Terkadang, anak terlihat seperti seorang yang membutuhkan perhatian khusus. Tetapi, mungkin juga mereka adalah anak yang sedang mengalami penurunan motivasi, ataupun memang memiliki kepribadian seperti itu.
Kalau kita ingin mendapatkan contoh yang baik dalam memperlakukan mereka yang membutuhkan perhatian khusus, maka kita bisa belajar dari Toto Chan. Seorang gadis kecil nakal, yang dianggap bodoh dan tidak bisa dididik oleh orang tuanya. Hingga, pada kelas satu pun dia harus pindah sekolah, karena dianggap mengganggu oleh gurunya.
Kebenaran dalam sekolah akhirnya dia temukan di sekolahnya yang baru. Sebuah sekolah dengan konsepan alami, dengan pintu gerbang yang hidup karena berupa pohon. Guru yang menghormati minat anak dari disiplin ilmu tertentu. Bahkan bisa dengan mudah memilih mata pelajarannya sendiri, sesuai dengan keinginannya. Potensi anak-anak yang dianggap buangan itu pun tumbuh sesuai dengan minatnya.
Dia pun tumbuh sebagai seorang gadis kecil yang berkembang sesuai dengan kekhususannya sendiri. Juga seperti ketika dia dapat menghargai seorang temannya yang lumpuh dan seorang temannya yang kerdil, Yasuaki. Guru pun mendukung Yasuaki menemukan rasa percaya dirinya dengan mengadakan perlombaan yang memungkinkan hanya ia yang bisa melakukannya.
Sekolah seperti itulah sebenarnya yang sedang dibutuhkan dalam pendidikan kita, terkait dengan pelayanan pendidikan inklusif. Sebuah konsepan pendidikan yang menghargai anak yang memiliki keterbatasan untuk mendapatkan pendidikan sesuai dengan yang lain. Tentu saja sesuai dengan kapasitas yang masih dimungkinkan.
Bagi seorang pendidik, pengetahuan tentang mereka adalah sesuatu yang harus dimiliki. Tidak bisa tidak, karena hal ini terkait dengan tugas dan fungsi seorang pendidik yang memiliki misi dalam mensukseskan peserta didiknya. Menjadi seorang yang lebih berguna dari sebelumnya, menjadi lebih percaya diri menatap dunia.
Penanganan yang benar, akan memberikan rasa aman dan keadilan pendidikan bagi mereka. Bahwa pendidikan tidak menjadikan keterbatasan sebagai sekat yang membatasi tujuan pendidikan itu sendiri. Tentu saja, ketika seorang pendidik bisa memahami keberadaan mereka, maka pendidik bisa membimbingnya dalam menggali potensi baik dari mereka. Sesuai dengan nilai-nilai dan budaya yang berlaku, untuk masa depan yang indah dan harmonis dalam menanti perubahan.
Isdiyono, 22 Februari 2009

Referensi : Smith, David J. 2006. Inklusi : Sekolah Ramah untuk Semua. Bandung : Nuansa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagi yang mengkopi, Tinggalkan Koment ya...makasih. Hehe