Jumat, 24 Desember 2010

Guru Teladan Mendidik Bangsa

Bulan November memang bulannya rakyat merayakan hari besar para pahlawannya. Setelah perayaan untuk para founding father dilaksanakan pada 10 november lalu, kali ini adalah untuk para pahlawan pendidikan : guru. Pada peringatan ini, ada beberapa hal yang perlu mendapatkan sorotan dari seorang guru yaitu tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab terhadap pendidikan.

Dalam bukunya Menjadi Guru Efektif, Suparlan (2005:12) mendefinisikan guru sebagai orang yang tugasnya mencerdaskan kehidupan bangsa dalam semua aspek. Baik dalam hal yang bersifat spiritual, emosional, intelektual, fiskal maupun aspek kepribadian lainnya. Artinya, seorang guru diidentikkan dengan orang yang memiliki keahlian untuk menyebarkan ilmu yang dimilikinya.

Guru mendapatkan tempat terhormat sekaligus tempat masyarakat menaruh harapan dan ekspektasi yang tinggi terhadap masa depan pendidikan masyarakat tersebut. Inilah yang seolah menyebabkan profesi guru sebagai profesi yang berat, tetapi mendapatkan penghargaan yang tak sebanding.
 
Kalau dilihat dari dimensi materi, maka posisi guru tidak bisa memenuhi tuntutan guru itu sendiri dalam menemukan kepuasannya. Selalu saja ada kesenjangan gaji yang diterima oleh seorang guru dengan profesi lain yang sama-sama berada di bawah pemerintah. 

Hal ini tentu tidak terlepas dari begitu banyaknya guru yang dihadapkan pada keterbatasan pemerintah dalam menganggarkan pendapatannya di sektor pendidikan. Kalau berbicara tentang hak, maka fakta ini tidak akan pernah mampu menjawab keinginan dan harapan guru dalam memenuhi kesejahteraan hidupnya. Menjadi guru bukanlah semata untuk kepentingan pemuasan fisik saja. Karena menjadi guru sejatinya adalah urusan batin, profesi guru adalah panggilan jiwa.

Frank Sennet (2004:2-7) merekam ungkapan para guru teladan di berbagai kota di Amerika tentang profesi yang mereka jalani. Bruce M. Penniman (Massachusetts) mengungkapkan bahwa mengajar adalah panggilan, bukan lompatan karir. Atau dengarlah penuturan dari Charles Zezulka (Connecticut),” Saat mengajar, saya merayakan kenikmatan belajar setiap harinya.” Kata Barbara Dorff (Texas), “ Guru yang baik terwujud dari hati.” Dalam kapasitas yang lebih luas, Pudad Ymbert (Texas) menuturkan bahwa, mengajar adalah melayani. Artinya melayani anak-anak, orang tua, masyarakat dan semua orang.

Memang benar bahwa menjadi guru harus siap menjadi pendidik masyarakat yang di dalamnya terdapat berbagai keragaman klasifikasi manusia. Inilah kewajiban seorang guru. Mereka tidak bisa melarikan diri dari kenyataan bahwa mereka merupakan salah satu bagian dari masyarakat belajar dan berada pada puncaknya, yakni sebagai fasilitator dan aktivator.

Seorang guru yang meninggalkan masyarakat sebagai tempatnya beraktivitas, perlu ditanyakan lagi kapasitas dan komitmennya dalam mengemban amanah mendidik bangsa. Bahwa pendidikan tanpa guru yang berkualitas, hanya akan menimbulkan permasalahan baru. Nah, berdasarkan pemikiran tersebut maka muncul pertanyaan baru, apakah guru yang ada sekarang sudah memiliki kompetensi profesional?

Pertanyaan ini menggiring kita pada hal tentang tanggung jawab yang setidaknya dipahami guru sebagai garis pembatas perannya dalam pendidikan. Dalam kondisi yang tidak memberikan jawaban pasti kepada masyarakat tentang peran pendidikan, guru wajib berinisiatif untuk memberikan pemahaman pada masyarakat. Bahwa pendidikan tidak semata tanggung jawab pemerintah yagn dalam hal ini dibebankan pada guru.

Pada hakikatnya, guru bukanlah profesi yang kaku, tetapi sebuah proses inovasi. Kata kunci inilah yang memberikan pemahaman pada masyarakat bahwa tugas guru itu bersifat dinamis. Selalu menyesuaikan situasi,kondisi dan kemajuan dunia ilmu pengetahuan.

Jadi, tanggung jawab seorang guru adalah memberikan inovasi dalam praktik pendidikan. Pendekatan proses secara kognitif, afektif, spiritual dan humanisme membedakan perlakuan kita terhadap guru dengan kita terhadap mesin di pabrik-pabrik. Manusia juga mahkluk yang bisa lelah mengeluh, tidak seperti mesin yang tak memiliki perasaan dan keinginan.

Permasalahan

Dalam pepatah populer selalu dikatakan bahwa, harapan dan kenyataan itu selalu berbanding terbalik. Kesejahteraan guru menjadi prioritas pertama dalam hal identifikasi masalah, melebihi keinginan mereka untuk meningkatkan kompetensi diri. Sehingga, tidak mengherankan jika banyak terjadi kasus guru yang melakukan aksi unjuk rasa menuntut kejelasan status mereka. Terutama untuk guru-guru honorer. 

Seperti yang terjadi pada Sabtu (20/11), seratusan guru yang tergabung dalam Forum Komunikasi Guru dan Penjaga Wiyata Bakti (FKGWB) Banyumas melakukannya di depan gedung DPRD setempat. Tuntutannya adalah supaya honor yang mereka terima meningkat dari Rp 50.000,00 perbulan yang mereka terima sebelumnya.

Jauh di Sulawesi seorang guru bernama Ati (44), menerima Satya Lencana Pendidikan dari presiden atas keihklasannya mengajar di daerah terpencil dengan gaji Rp 15.000,00 saja. Kedua kasus tersebut jelas menunjukkan perbedaan yang sangat mencolok. Guru, satu sebutan, tetapi berbeda pemaknaan.

Pada dasarnya, kesejahteraan memang merupakan dambaan semua orang sebagai imbas dari profesi yang dimiliki sesuai dengan kinerjanya. Sehingga, profesi tidak hanya dimaknai sebagai titel yang bersesuaian dengan pendapatan tetapi diiringi dengan prinsip profesional. Artinya, dengan semakin tinggi tuntutan yang diminta, seharusnya semakin inovatif guru dalam memberikan kemampuannya. 

Guru sejati tidak hanya digambarkan sebagai sosok yang mata duitan. Guru adalah simbol keteladanan bagi murid-muridnya. Ketika guru kehilangan jati dirinya, maka yang akan hancur adalah sistem pendidikan dalam ranah praktis. Kenaikan kesejahteraan seharusnya menjadi bagian dari peningkatan kapasitas dalam mendidik anak bangsa. Dengan demikian, pendidikan tidak akan kehilangan figur guru yang diidam-idamkan oleh masyarakat. Jika tidak, kita hanya akan mengenal satu guru dalam diri Oemar Bakri. Selamat hari guru.

Isdiyono, Mahasiswa Program Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Universitas Negeri Yogyakarta

Jumat, 15 Oktober 2010

Benarkah Timnas Bangkit ?

Add caption
Dalam beberapa tahun ini, publik sepakbola di tanah air sedang dirundung duka terkait melorotnya prestasinya di tingkat internasional. Tak pernah masuk final piala AFF dalam beberapa kali perhelatan, gagal di Piala AFC dan langsung rontok di babak penyisihan Piala Dunia membuat mimpi publik melihat merah-putih berkibar di ajang paling bergengsi di jagat persepakbolaan dunia meredup.

Kritik keras pun kemudian melayang bertubi-tubi kepada PSSI sebagai pihak yang paling bertanggungjawab tentang prestasi sepakbola nasional. Kondisi ini memang sulit bagi PSSI, tetapimereka memang harus bertanggungjawab terhadap fakta ini. Kemelorotan prestasi sepakbola ini harus segera mendapatkan respon dan tanggapan positif dari berbagai pihak terutama PSSI dan Menpora.

Sebenarnya, berbagai cara telah ditempuh untuk meningkatkan kualitas dan prestasi timnas di ajang internasional. Tetapi, hasilnya memang belum maksimal. Beberapa hal yang perlu diperbaiki adalah tentang pembinaan pemain muda, pelaksanaan kompetisi yang sehat dan kompetitif, internasionalisasi kompetisi sepakbola nasional dan menyekolahkan pemain-pemain muda berbakat dalam kompetisi di luar negeri. Meskipun, pada kenyataannya program-program ini belum memperlihatkan hasilnya.

Salah satu hal yang menarik adalah adanya niatan kuat dari PSSI untuk mendatangkan pemain keturunan untuk membela timnas Indonesia. Ide naturalisasi pemain dianggap sebagai pilihan tepat atas kemerosotan prestasi timnas. Berkaitan dengan hal ini, PSSI tampaknya mulai mengalami titik kejenuhan dalam mengembangkan sepakbola di tanah air.

Namun, pada awalnya program anturalisasi tidak perlu dilakukan karena mereka dianggap kurang memiliki rasa bertanah air Indonesia. Hal ini dapat kita lihat bahwa sebagian besar para pemain keturunan yang bermain di negara-negara Eropa belum pernah tinggal di Indonesia. Alasan ini sebenarnya tidak masuk akal, karena naturalisasi bias dilakukan ketika mereka bersedia untuk melepas kewarganegaraan mereka.
Terkait dengan nasionalisme yang dikhawatirkan akan luntur, kita patut belajar dari timnas Jerman. Pada puluhan tahun yang lalu, peringkat tiga Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan ini memang dihuni oleh pemain-pemain lokal. Nasionalisme menjadi alasan yang tidak bisa dibantah dan tidak bias dilawan. Bahwa bangsa Jerman adalah untuk bangsa mereka sendiri.

Tetapi, hal yang berbeda dapat kita lihat dari skuad timnas Der Panzer, julukan Jerman, di Piala Dunia di Afrika Selatan lalu. Pemain yang dating lebih berwarna-warni. Ada Boateng yang berdarah Ghana, Klose dan Podolski berdarah  Polandia, Mezut Oezil berdarah Turki hingga Marko Marin seorang pengungsi dari Bosnia. Pada kenyataannya, keanekaragaman itu tidak menyurutkan prestasi tetapi malah mengantarkan mereka duduk pada peringkat ketiga.

Belajar dari Jerman, naturalisasi pemain bisa dijadikan alternatif tepat untuk meningkatkan prestasi timnas. Fakta ini mengingat banyak pebola keturunan Indonesia bermain di klub top dunia. Contohnya adalah Raja Nainggolan yang bermain dengan klub Cagliari, Sergio van Dijk top skorer liga Australia dan yang lain.

Dengan adanya pemain yang lebih berkualitas, tidak akan mengurangi kekuatan timnas. Tetapi, justru dapat memberikan atmosfer yang lebih ketat bagi pemain lokal. Persaingan yang semakin ketat ini akan membuat pemain lokal semakin terpacu meningkatkan kualitasnya. Bahwa kaus timnas itu terlalu mahal jika digadaikan dengan sekedar nilai finansial.

Jadi, pada akhirnya pemain yang memperkuat timnas Indonesia adalah mereka yang memang benar-benar cinta pada tanah air dan mau meningkatkan prestasi sepakbolanya. Tidak sekedar memperkuat timnas karena ingin bermain di ajang internasional saja. Karena sinyal kebangkitan timnas itu saying jika dibiarkan menyala sendiri tanpa adanya dukungan.

Isdiyono, Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta






Jumat, 24 September 2010

Gerakan Berantas Miras

Sudah begitu banyak korban bergelimpangan akubat minuman keras. Namun, sepertinya kejadian ini tak memberikan pelajaran bagi semua orang. Terbukti, dengan masih adanya korban baru akibat minuman keras ini. Berita terbaru terjadi di Wonosari, 3 orang tewas dan 1 orang kritis.

Sungguh sangat ironis, di bulan syawal yang penuh berkah ini malah dinodai dengan kegiatan tak penting seperti minum-nimiman keras (miras). Bulan syawal sudah seharusnya menjadi titik balik dan kelanjutan dari bulan Ramadhan. Karena puasa sebenarnya adalah ketika apa yang dilakukan di bulan Ramadhan tidak berbeda jauh dengan sebelas bulan berikutnya.

Miras memang bukan merupakan barang baru dalam kaitannya dengan penyakit masyarakat (pekat). Satu penyakit yang tidak menempel pada tubuh manusia. Tetapi melekat pada kebiasaan. Dia ada ketika seseorang sudah tak lagi kuat untuk menolak ajakan lingkungan yang memaksanya sama dengan yang lain.

Pekat berkembang dalam komunitas-komunitas kecil masyarakat yang bergerak dengan prinsip Multi Level Marketing (MLM). Ketika seorang sudah kecanduan, maka ia akan mengajak yang lain untuk mencobanya. Begitu seterusnya hingga yang terjerat menjadi semakin banyak. Awalnya adalah untuk mempererat persahabatan. Akan tetapi, cara ini sesungguhnya yang tidak sesuai dengan norma yang terjadi di masyarakat maupun norma agama.

Sayangnya, masyarakat sudah tak bisa mengendalikan komunitas-komunitas ini karena keengganan mereka untuk merubah kebiasaan. Hal ini terkait dengan efek dari minuman keras yang bekerja pada titik-titik syaraf yang menyebabkan efek relaks. Tuntutan hidup dan problematika kehidupan yang semakin bertambah dan kompleks menambah tekanan masyarakat semakin tak tertahankan. Orang dalam keadaan mabuk miras, akan sulit diajak untuk berkomunikasi. Untuk mengendalikan diri agar tidak jatuh saja sulit, apalagi untuk berpikir jernih tentu tidak akan mudah.

Dalam kondisi yang demikian, mereka yang tidak tahan akan cenderung lari dari kenyataan. Hal pertama kali yang dituju mereka adalah hiburan. Hiburan ibarat oase di padang pasir yang gersang, dia memberikan setitik embun dalam kehausan. Di dalamnya terdapat bermacam-macam hiburan yang bersifat baik dan buruk. Yang baik adalah ketika seseorang bisa mengendalikan diri, akan menjadi baik ketika semua orang dengan latar belakang berbeda berkumpul.

Pertama-tama mungkin hanya karena ditawarkan padanya rokok, tetapi pada tahap selanjutnya, bisa lari pada miras. Pertama diberikan gratis, ketika sudah kecanduan maka berubah menjadi iuran, hingga akhirnya dia harus membeli sendiri ketika ingin meminumnya. Hal terburuk adalah ketika dia sudah tidak merasakan kenbikmatan pada miras, maka dia akan berlari pada narkoba.

Sungguh sangat sayang ketika kebiasaan minum miras ini terus berlanjut. Karena penyebab minum miras rata-rata ingin melupakan sejenak masalah yang sedang dihadapi. Tidak kuat menahan tekanan hidup yang kian berat dan kompetitif. Apalagi, kebutuhan ekonomi kian meningkat seiring dengan meningkatnya standar kebutuhan hidup. Kebutuhan yang dulu bersifat tersier menjadi sekunder, dan yang sekunder sudah beralih menjadi kebutuhan primer. Tentu saja hal ini tak bisa ditolak, karena kenaikan ini adalah kepastian.

Pemberantasan tidak bisa dilakukan oleh perseorangan karena miras bukanlah masalah individu, tetapi komunitas di dalam masyarakat. Kebiasaan ini muncul karena adanya persamaan keinginan yang mendapatkan media dalam pelampiasannya. Ketika masyarakat sudah tergerak untuk memberikan nilai tentang betapa penting dan gentingnya masalah ini, maka kita sudah memiliki satu modal berharga.

Berbeda ketika masyarakat pun tidak merasa terganggu dengan kebiasaan mengkonsumsi miras. Masyarakat yang seperti ini tak akan dapat memenangi perang melawan miras. Padahal, miras adalah bukti nyata salah satu media perusak masyarakat. Karena ketika masyarakatnya tidak bisa berpikir dengan jernih, maka mereka akan mudah terombang-ambingkan oleh kepentingan orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Secara nasional, penyakit masyarakat ini akan melemahkan kesadaran bangsa akan pentingnya berpikir untuk negeri. Dalam tatanan sederhana adalah berpikir untuk lingkungan dan masyarakat sekitarnya. Bahwa di samping kita adalah mahkluk individual, kita juga mahkluk sosial. Manusia membutuhkan masyarakat untuk berinteraksi, memenuhi kebutuhan dan saling memahami dalam kehidupan.

Para pecandu miras tidak dapat kita sudutkan atau kucilkan dalam lingkup kecil masyarakat. Mereka sebenarnya membutuhkan bantuan kita sebagai orang-orang yang sadar dan mengetahui tentang ancaman dan bahaya mengkonsumsi miras. Bahwa miras akan merusak seluruh tatanan kehidupan masyarakat. Meskipun kelihatannya hal sepele, tetapi jika tidak diperhatikan, miras bisa menghancurkan bangsa. Apalagi sasaran utama adalah para pemuda yang masih dalam pencarian mencari jati diri. Mereka sangat rentan sebagai sasaran empuk penyakit masyarakat ini.

Betapa mengerikan jika generasi muda telah terkontaminasi kebiasaan mengkonsumsi miras. Generasi penerus bangsa kita tidak akan ada yang sehat. Mereka tidak bisa menjadi pemimpin yang baik ketika pikirannya telah terkontaminasi. Dalam masyarakat, miras memicu kericuhan dan menaiknya emosi dalam berbagai kesempatan. Sehingga, efek ini akan mengancam keberlangsungan komunikasi dalam memecahkan masyarakat.

Sudah saatnya kita semua bangkit dari pemikiran yang mengatakan bahwa miras di sekitar kita adalah berbahaya. Dia dapat menyebabkan kematian, dalam banyak kasus menyebabkan berpikir menjadi menurun. Sehingga dapat mengurangi kualitas masyarakat dalam memajukan wilayahnya untuk membangun bangsa.

Masyarakat yang berkomitmen tinggi untuk menyatakan perang terhadap perang sudah sangat dibutuhkan. Pernyataan perang melawan miras adalah salah satu bukti bahwa kita masih memiliki simpati dan kepedulian pada masyarakat kita sendiri. Sehingga, kita tidak akan melihat lagi korban bergelimpangan hanya karena menenggak miras. Pelampiasan dalam mencari hiburan yang salah, akan menyebabkan hidup menjadi sengsara. Wallahu a’lam.

Isdiyono, Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta
Bergiat di Trans-f UNY

*Termuat di Koran Merapi edisi Rabu pon 22 September 2010

Minggu, 12 September 2010

Di Ujung Ramadhan, Ada Kemenangan


Ramadhan kali ini terasa sangat spesial, momen-momen spesial seolah tidak berhenti mengiringinya. Momen paling bersejarah tentu saja adalah ketika kemerdekaan tahun ini diadakan pada saat bulan Ramadhan. Fakta ini mengingatkan kita pada saat 65 tahun yang lalu, momen kemerdekaan juga bertepatan dengan hari Jumat Legi, 17 Agustus 1945. Setelah 65 tahun berlalu sudah, adakah perbedaan yang telah terjadi dan menjadi ciri khas kedua momen ini?
Dari beberapa alasan, hal paling berkesan adalah kenyataan bahwa dalam kemerdekaan ini ada dua peperangan dan ada dua kemenangan. Peperangan pertama hanya bisa kita ingat melalui beberapa potongan foto, cuplikan gambar perang atau sisa-sisa peninggalan yang masih tersisa. Meski kebanyakan dari kita terlahir jauh setelah peperangan itu berakhir, tetapi kedahsyatan perang terlihat dari sisa-sisa perang yang telah menjadi puing dan tersimpan di museum.
Perang yang menggetarkan jiwa ketika kita mendengar kisahnya itu bukanlah tanpa alasan. Ketertindasan, kesengsaraan dan kemelaratan menjadi latar pergerakan bangsa menuju kemerdekaan. Kemerdekaan yang didambakan itu bukanlah ahdiah atau titipan, tetapi perjuangan seluruh rakyat. Karena sejarah ditulis dengan darah rakyat Indonesia dan dituliskan dengan tinta para kuli tinta. Jika tak ada dua hal ini, maka tak ada yang tahu bahwa kita pernah dijajah oleh bangsa lain.
Jas Merah, satu frase yang pernah diucapkan oleh Proklamator bangsa pada tahun 1964. Sungguh menggelora ketika pesan untuk selalu menjaga sejarah itu diucapkan. Bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Nyawa bukan apa-apa jika dibandingkan dengan kemerdekaan. Begitu indahnya kata merdeka, hingga mereka rela kehilangan nyawa daripada kehilangan harga diri.
Namun, jelas sekali berbeda ketika kita bandingkan dengan keadaan di zaman sekarang. Sejarah perlahan mulai dilupakan dengan makin banyaknya hiburan yang mudah diperoleh anak-anak. Karena keadaan damai inilah, mereka enggan untuk mempelajarri dan memahami arti perjuangan 45. Bahwa kita tak akan pernah merasakan segarnya udara kebebasan seandainya saja dulu tak ada darah yang tertumpah. Jadi, sebagai orang yang berdarah merah dan bertulang putih, sudah seharusnya kita berubah. Kita harus menajamkan warna merah kita, serta membimbing Garuda-Garuda kecil dalam memahami bangsa secara sederhana. Karena kejayaan bangsa bukan untuk satu generasi saja, tetapi diwariskan dan ditingkatkan.
Dalam kesempatan yang lain, Soekarno pernah berpesan pada kita semua,”Perjuanganku mudah karena melawan penjajah, tetapi perjuanganmu akan sulit karena musuhmu adalah dirimu sendiri.” Dalam kata-kata ini, tersirat bahwa musuh kita sebagai generasi pewaris angkatan 45 adalah diri sendiri. Pengendalian diri adalah satu kunci agar pendirian kita tetap teguh. Tidak mudah menggadaikan harga diri bangsa hanya demi beberapa iming-iming saja.
Pengendalian diri ini terdapat dalam konsep puasa di bulan Ramadhan. Bahwa yang membuat perjuangan menjadi sia-sia adalah dua hal yaitu hawa dan nafsu. Kedua kata kunci ini begitu erat kaitannya dalam perjuangan bangsa saat ini. Kenapa bangsa ini selalu saja dirundung masalah sepele terkait kebutuhan perut dan bawah perut? Kedua hal ini bisa dijadikan alasan. Bukan karena istilahnya, tetapi karena para pelakunya tidak dapat mengendalikannya.
Ramadhan adalah momen yang tepat untuk memperbaiki kemampuan kita dalam mengendalikan diri. Bahwa kita tidak perlu menjadi orang besar dulu ketika kita belajar menahan hawa dan nafsu. Karena kedua hal ini adalah sebuah fitrah bagi manusia. Nikmat yang akan memberikan manfaat tiada tara ketika kita bisa mengendalikan dan memanfaatkannya secara benar.
Begitu mulianya bulan ini, sehingga orang berlomba-lomba untuk memanfaatkan momen Ramadhan dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat. Bulan Ramadhan adalah bulan yang kita tidak akan pernah rugi ketika memutuskan untuk berubah menjadi orang yang lebih baik. Karena setiap amalan yang dilakukan akan dihitung berlipat dari hari-hari biasa. Bahkan, setiap nafas yang berhembus dari seorang yang menjalankan ibadah puasa pun niscaya akan mendapatkan pahala.
Dan, begitu indah dan nikmatnya ketika kita selalu berusaha untuk memperbaiki diri di bulan Ramadhan ini. Karena di ujung perjuangan ini ada sebuah kemerdekaan. Sebuah cita-cita yang kita tidak akan pernah tahu apakah kita bias mendapatkannya. Bahwa kemenangan adalah cita-cita setiap orang yang menjalankan puasa. Pengendalian diri akan memperkokoh jiwa seseorang. Kekokohan jiwa seseorang ini akan terakumulasi dalam tataran yang lebih lusa menjadi sebuah ketahanan jiwa nasional. Sehingga, kemerdekaan yang kita raih tidak hanya kemerdekaan fisik saja, tetapi juga kemerdekaan jiwa. Wallahu a’lam.

Isdiyono, Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta



Jumat, 16 Juli 2010

Pena Menjawab Teror (ICW)

       Korupsi memang telah menjadi sebuah penyakit komplikasi kronis di dalam pemerintahan kita. Dari hulu hingga hilir, banyak orang-orang berkepentingan yang melakukannya. Kekuasaan telah menjadikan banyak orang buta dengan kegelimangan dunia. Sehingga, cara apapun dilakukan untuk melanggengkan kekuasaan sekaligus untuk mempermulus korupsi.
       Penyerangan beberapa waktu lalu di kantor majalah Tempo dan yang menimpa seorang aktivis ICW (Indonesian Corruption Watch) adalah bukti nyatanya. Bahwa harta dan kekuasaan menjadi tujuan dengan mengesampingkan amanah rakyat. Dengan kekuasaan yang langgeng, maka logikanya adalah bisa mempermulus langkah untuk melanggengkan kekuasaan dan korupsi.
       Namun, ada beberapa hal yang harus kita perhatikan untuk melihat permasalahan ini lebih dalam. Harapannya, masalah bisa terselesaikan tanpa menambah permasalahan yang baru. Kalau kita amati, kasus ini muncul ketika ada konflik antara jajaran Polri dengan media dan ICW. Namun, masyarakat sudah teralihkan pada analogi bahwa ini adalah bentuk respon dari Polri untuk membungkam kebebasan pers. Padahal belum tentu begitu, barangkali ada pihak ketiga yang memanfaatkan momentum ini.
       Akibatnya, kita seperti diingatkan kembali tentang nasib kematian wartawan Udin dan Munir yang janggal dan penuh intrik. Bahkan sampai detik ini, belum diketahui siapa dalang di balik kasus wartawan Udin. Kekhawatiran tentang pembungkaman pers seperti orde lama pun segera merebak.
       Kalau dibiarkan berlarut-larut, maka masyarakat akan dihantui teror dalam melaksanakan kebebasan berbicara. Kontrol politik terhadap pemerintahan pun mengandur dan tekanan terbesar akan dialami oleh media. Jika media tertekan, maka yang akan menang adalah peneror yang memanfaatkan celah di antara perseteruan media dengan Polri.
       Nah, untuk mematikan tujuan para terror ini diperlukan sebuah sikap yang berani dari pers dan masyarakat. Tetap menjalankan kritik untuk mengontrol pemerintahan agar tidak cenderung beralih pada sistem pemerintahan diktator. Teror ini adalah bentuk penistaan terhadap Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa Indonesia. Penistaan ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Karena permasalahan terror ini menyangkut harga diri bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi Demokrasi Pancasila. Demokrasi yang humanis terhadap seluruh warga negara dan dalam hubungan dengan bangsa lain.
       Jangan jadikan teror ini sebagai hambatan untuk menyuarakan kebenaran. Tetapi cambuk untuk semakin paham tentang pengalihan isu dan politik adu domba yang dilakukan oleh pihak ketiga. Sudah semestinya pena kita harus selalu menggoreskan kebenaran, keadilan dan keterbukaan. Ketakutan jangan kita biarkan tumbuh dari pemikiran kita. Biarkan dia menjelma menjadi ruh pena yang selalu mengharapkan perbaikan bangsa ini. Mari kita lawan teror ini dengan tajamnya ujung pena kita. Karena korupsi tidak dapat kita biarkan menjadi sebuah kebudayaan dalam tubuh pemerintahan.

Isdiyono, Mahasiswa FIP
Universitas Negeri Yogyakarta

Sabtu, 26 Juni 2010

Epistemologi Pendidikan

Oleh : Isdiyono*

           Ketika kita berbicara tentang sesuatu konsep, maka yang akan timbul dalam benak kita adalah arti atau makna tentang konsep tersebut. Sesuai dengan hakikatnya, manusia selalu memiliki keinginan untuk tahu. Keinginan inilah yang kemudian membuat manusia mengembangkan pola pemikirannya. Sedikit demi sedikit, akivitas ini mempengaruhi peradaban manusia yang semakin maju.

           Mencari arti kata tidak dapat dilepaskan pada peran ilmu filsafat, ilmu yang mempelajari tentang arti suatu kata. Sebuah proses dalam mengungkapkan suatu makna untuk memperoleh hal baru. Dalam hal ini, epistemologi memiliki peran penting dalam keberadaan dan perkembangan ilmu pengetahuan. 

           Suriasumantri (1996), mengemukakan bahwa aspek ontologis keilmuan biasanya mempersalahkan apa yang dikaji oleh sebuah ilmu pengetahuan. Bukan menggambarkan kebenaran sebagai sesuatu yang harus dipercayai secara mutlak. Jadi, perkembangan ilmu pengetahuan tidak bisa dilepaskan dari penelusuran panjang manusia untuk menemukan kebenaran yang masih tersembunyi.

           Epistemologi berasal dari bahasa Yunani episteme yang berarti pengetahuan (knowledge) dan logos yang berari teori (theory)1. Episteme juga diartikan dengan sains (science) dan logos yang berarti informasi (information), atau penjelasan (explanation). Epistemologi pada mulanya digunakan oleh para ilmuwan barat sebagai metode untuk menggali, merumuskan, mengembangkan sains dan teknologi. 

Epistemologi berusaha mendefinisikan pengetahuan, membedakan cabang-cabangnya yang pokok, mengidentifikasikan sumber-sumbernya dan menetapkan batasannya. Idris dkk (2008) memberikan pernyataan bahwa epistemologi bertujuan untuk menjelaskan seluk beluk/tata kerja ilmu dari sisi sumber, sruktur, metodologi, ukuran, hakikat dan objek. 

           Epistemologi mendasari ilmu pengetahuan dalam kaitannya dengan konsep dan pencarian terhadap kebenaran yang akan diusungnya. Kebenaran yang bersifat objektif, dapat diterima tidak hanya dari satu pihak saja. Kebenaran yang bisa dipertanggungjawabkan dalam kaitannya dengan kehidupan sehari-hari.

           Metode yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan ilmiah adalah dengan menerapkan logiko-hipotetiko-verivikatif. Idris dkk menjelaskan metode ini sebagai sebuah pembuktian bahwa sebuah konsep itu adalah logis. Kemudian diajukanlah hipotesis didasari dari oleh logika yang sudah bias dipahami sebelumnya. Pembuktian konsep ini adalah dengan membuktikan hipotesis yang telah diajukan secara empirik. Artinya, pembuktian harus bias diterima oleh akal dalam kehidupan sehari-hari. 

           Begitupula ketika kita berbicara tentang hakikat pendidikan, maka epistemologi tidak dapat dipisahkan sebagai pelacak jejak kebenaran. Bahwa epistemologi pendidikan memiliki arti penting dalam menentukan struktur yang mengukuhkan bangunan pendidikan. 

           Pengetahuan tentang pendidikan dapat dipahami secara utuh ketika kita tahu tentang hal-hal yang mendasarinya. Pendidikan tidak dapat didefinisikan di permukaannya saja. Artinya, penguraian tentang hakekat pendidikan tidak bias dipahami secara dikotomi antara satu komponen dengan komponen lainnya.

           Pendidikan begitu vital dalam perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya yang mengiringi.Pendidikan yang berhasil tidak akan mengorbankan salah satunya hanya untuk mendapatkan yang lain. Kenyataan ini mendasari para praktisi pendidikan dalam mengembangkan pengetahuan ke tingkat yang relevan dengan kondisi saat ini. 

           Pendidikan tidak hanya belajar tentang masa lalu saja, tetapi saat ini dan masa depan. Kedinamisan pendidikan akan mendorong kemajuan ke arah yang positif. Tidak mengarah pada keadaan di mana pendidikan membutuhkan campur tangan pihak-pihak yang idak berkompeten. 

           Pemahaman yang benar tentang dinamika pendidikan akan mewujudkan kultur ilmiah yang membangun. Pentingnya pemahaman yang benar adalah untuk membangun persepsi tentang pendidikan yang akan diwujudkan. Tentunya, pemahaman ini memerlukan perhatian dan kritikan agarpendidikan ideal semakin menemukan bentuknya.
*Mahasiswa PGSD 2008, Kelas S4B FIP UNY
Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah pendidikan komparatif








Jumat, 25 Juni 2010

Imbas Target Kenaikan Pendapatan 6 %


Pada kondisi yang sangat sulit ini, merupakan hal yang kurang bijaksana ketika harga BBM yang dikambinghitamkan. Kenaikan harga BBM merupakan tendangan telak yang memaksa rakyat untuk berpuasa kesejahteraan. Karena dengan kenaikan, maka biaya operasional usaha kecil dan menengah (UKM) membengkak.
Seolah, isu kenaikan harga BBM ini adalah untuk mengalihkan perhatian massa dari isu-isu di atas. Kasus makelar kasus dan korupsi yang tidak kelar membuat alas an kenaikan BBM adalah untuk mengalihkan perhatian kita pada isu tersebut. Kondisi ini tentu sangat tidak ideal karena dengan isu ini, rakyat seolah diminta untuk bungkam dengan bahasa dan halus.
Kita semua tahu, isu BBM adalah isu yang sangat sensitif di kalangan masyarakat kelas menengah dan miskin. BBM sebagai kebutuhan dasar yang sangat dibutuhkan, memiliki arti yang sangat penting dalam menjalankan roda perekonomiannya. Apalagi, konversi minyak tanah ke gas tampaknya tidak akan menuai sukses mengingat banyaknya kasus gas meledak di beberapa tempat. Masyarakat tentu akan melirik kembali penggunaan BBM sebagai bahan bakar. Apalagi, harga BBM saat ini sudah tergolong tinggi. Jika ditambah, maka akan semakin menjerat leher rakyat miskin.
Padahal, UKM sangat penting artinya dalam tatanan sistem ekonomi masyarakat kita ini. Sistem ekonomi UKM dan pasar adalah solusi efektif Negara dalam menghadapi krisis global yang sempat melanda dunia beberapa waktu yang lalu. Pembunuhan UKM secara perlahan tentu akan semakin memperpuruk rakyat kecil. Meski dengan kenaikan harga BBM ini akan menambah pendapatan Negara.
Menariknya, kalau kita amati kenaikan harga BBM ini adalah bukti ketakutan pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu II dalam melunasi janji-janji kampanyenya. Target kenaikan pendapatan sampai 6% ternyata menjadi bumerang bagi kebijakan ekonomi sekarang ini. Ketakutan itu membuat pemerintah sekarang ‘terpaksa’ menaikkan harga BBM.
Dengan tidak terkena imbas krisis ekonomi global, nilai jual politik yang paling ‘menjual’ adalah dengan menaikkan target pertumbuhan yang lebih tinggi. Namun, saat itu belum terpikirkan siapakah yang harus dikorbankan dalam pencapaian target tersebut. Presiden sebagai pelaku yang mencanangkan janji adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap kenaikan ini.
Tetapi, menaikkan sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak bukanlah pilihan yang bijak. Kenaikan pada sektor ini menunjukkan kelemahan pemerintah yang terlalu mengandalkannya. Pemerintah belum berani menargetkan asal pendapatan pada orang-orang dengan tingkat kesejahteraan ekonomi tinggi. Terbukti dengan semakin maraknya pengungkapan kasus yang melibatkan pada bidang pajak sebuah perusahaan besar.
Pengusaha-pengusaha besar bisa mengelak dari kebijakan pajak dengan mudah karena memiliki strategi yang baik. Sedangkan untuk masyarakat miskin? Terlalu sulit mengingat sistem pasar yang mengutamakan persaudaraan daripada keuntungan membuat kebijakan kenaikan harga BBM kurang masuk akal.
Solusi yang paling mungkin dapat dilakukan pemerintah adalah dengan mengoptimalkan pendapatan dari sektor yang dikerjakan oleh investor asing atau pengusaha-pengusaha besar. Sungguh tidak bijak ketika rakyat yang sudah kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari malah semakin diperas. Larangan penggunaan premium bagi kendaraan mewah hanyalah salah satu peran pemerintah dalam menjunjung keadilan dalam pemanfaatan sumber daya alam.
 Ekonomi kerakyatan sebagai pilar perekonomian nasional harus dipikirkan dalam mengambiul setiap kebijakan. Karena dengan kenaikan harga BBM, akan ada banyak masyarakat kecil yang harus semakin mengencangkan ikat pinggangnya. Wallahu a’lam.
Isdiyono, Mahasiswa FIP
Universitas Negeri Yogyakarta

Kamis, 24 Juni 2010

Ironis Pahlawan Devisa

           Sudah enam puluh lima tahun sudah kita merdeka dari penjajahan yang menginjak-injak harga diri bangsa kita. Setiap kenangan yang tercipat adalah seperti sebuah penghinaan terhadap kesengsaraan. Sebuah perjalanan panjang untuk mendapatkan sebuah kata: MERDEKA. Hanya demi mencapai kata itulah, seluruh jiwa dan raga telah mereka persembahkan untuk negeri tercinta.
          Bertempur dengan peralatan seadanya adalah sebuah kebanggaan kita, mengingat dengan usaha yang gigihlah tujuan bersama dapat tercapai. Semua dilakukan dengan keikhlasan dan dengan kebanggaan yang sudah menyelimuti isi kepala. Tak ada kata menyerah, perjuangan harus dilakukan dengan sepenuh hati.
            Dan jika semua pengorbanan para pahlawan itu hanya kita kenang, maka kita tidak akan mendapatkan apapun selain terharu. Kita tidak akan dapat mencegah masa penjajahan itu. Satu-satunya jalan untuk menebus dan meneruskan perjuangannya adalah dengan meneruskan perjuangan itu. Tentu saja dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing.
           Berbicara tentang pahlawan, maka kita tidak bias lagi melihat para pejuang yang mengikatkan bendera merah putih di kepala, senapan di tangan dan dengan teriakan lantang untuk merdeka. Dan jika kita melihat fenomena yang sedang terjadi di sekitar kita, maka kita dapat melihat bahwa tidak ada perubahan yang terlalu mencolok dibandingkan dengan masa sebelum penjajahan.
           Kelaparan, kebodohan, kesengsaraan dan penghinaan masih saja menjadi pemandangan sehari-hari. Bencana terjadi di mana-mana, seolah-olah sedang menghukum kita yang selalu melakukan kejahatan dan kerusakan di atas dunia. Padahal, secara teknologi bangsa kita juga tidak terlalu ketinggalan. Hanya saja, kapasitas kita baru sebatas sebagai bangsa pengikut. Belum bias mandiri sepenuhnya, mungkin terjerat utang sepanjang masa.
           Belum selesai penderitaan yang terjadi di dalam negeri, penderitaan pun juga dialami bangsa kita di luar negeri. Ya, perlakuan kasar dan kejam terhadap TKI menjadi pemandangan sehari-hari bagi kita. Seolah-olah manusia Indonesia digambarkan sebagai mahkluk yang hina dan pantas untuk dianiaya.
           Kapasitas pendidikan sumber daya manusia (SDM) kita yang pas-pasan, membuat saudara-saudara kita yang berjuang untuk dapat bertahan hidup, terlunta-lunta di negeri orang. Tak ada yang peduli, rasa simpati mungkin muncul ketika mereka sudah digosok dengan setrika, disiram air aki atau pulang tinggal nama.
           Padahal, kepergian dan kepulangan mereka telah menghadirkan devisa yang tidak sedikit. Kerja mereka di luar sana juga tidak mudah, terkadang harus mempertaruhkan nyawanya demi menyambung hidup keluarganya di tanah air. Beruntung jika seorang TKI mendapat majikan yang baik hati. Tetapi, tidak semua majikan yang membayar mereka itu baik hati.
Pendidikan Rendah  
            Permasalahan itu selalu saja mendera mereka ketika sedang mengadu nasib di luar negeri. Kondisi mereka yang seperti itu dikarenakan tingkat pendidikannya yang rendah. Hal ini berdampak langsung pada kondisi fisik, mental, adaptasi dan cara mengolah pikiran mereka agar menjadi tenaga yang terdidik dan terlatih. Tetapi, pada kenyataannya adalah berkebalikan, mungkin pendidikan tertinggi mereka hanyalah tingkat SMA, SMP atau bahkan tidak lulus sekolah dasar.
           Secara tingkat keprofesionalan dan keahlian, mereka masuk pada golongan rendah, dan pekerjaan baru mereka di luar negeri adalah sebagai pegawai rumah tangga saja. Sangat jarang TKI kita yang dapat sukses dengan modal pendidikan yang seadanya. Dan, terkadang kepergian mereka adalah untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Keinginan itu terkadang timbul setelah melihat keberhasilan saudara, tetangga atau teman yang sukses setelah merantau.
           Keinginan yang tidak diimbangi dengan tingkat keahlian tinggi inilah yang membuat mereka mendapat pekerjaan rendahan. Sebuah pekerjaan yang menuntut keprofesionalan dan kedisiplinan tinggi. Tetapi dengan gaji yang rendah, meskipun jika dirupiahkan terlihat banyak. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang tidak mendapatkan gaji. Hal itu diakibatkan oleh apalagi kalau bukan masalah pendidikan yang rendah. Dengan pendidikan yang seadanya itu, maka nasib mereka juga tidak akan membaik.
Peningkatan Pendidikan
           Tingkat pendidikan yang rendah inilah penyebab utama timulnya masalah-masalh yang timbul di kemudian hari. Pendidikan tinggi terkadang diperlukan oleh seseorang untuk merantau ke tanah seberang. Buktinya, mereka yang memiliki keahlian dan keprofesionalan mendapatkan tempat di Negara tujuan masing-masing. Hal ini tidak mereka sadari sebelumnya pasti karena keterbatasan pengetahuan mereka ketika memahami peraturan dan kesepakatan kerja. Dan bagi mereka, sudah tidak ada lagi waktu yang dapat digunakan untuk meningkatkan taraf pendidikan mereka.
           Nah, satu-satunya cara untuk membalas jasa para pahlawan devisa ini adalah dengan peningkatan pendidikan anak-anak mereka. Hal ini sangat penting, mengingat dengan pendidikanlah seseorang dapat mandiri, dewasa dan menemukan hakikat bernurani sebagai wujud kepatuhan manusia sebagai mahkluk ciptaan-Nya.
           Sungguh tidak adil jika anak seorang TKI juga memiliki cita-cita sebagai seorang TKI. Tentu saja hal ini menjadi keprihatinan kita semua. Dengan peningkatan pendidikan, maka anak-anak mereka dapat bersaing untuk meningkatkan kesejahteraannya tanpa harus merantau. Kekayaan alam Indonesia yang melimpah ini tidak hanya cukup, tetapi melimpah untuk dimanfaatkan dan diberdayakan.
           Penignkatan taraf hidup agenda utama yang harus diperhatikan untuk menghormati taraf hidup pahlawan kita ini. Pahlawan yang tak kenal lelah ikut andil dalam menambah devisa Negara. Meskipun jarang sekali diperhatikan, namun semangat mereka selalu patut untuk dikenang dan diberi penghargaan.
           Harapannya adalah di masa mendatang, kita tidak lagi mendengar tangis mereka, tetapi senyuman dengan melihat anak-anaknya yang berhasil. Dapat meraih apa yang dicita-citakan dan tak bisa diraih oleh orang tua mereka. Melihat air yang menetes dari mata sang pahlawan kita. Pahlawan kita yang telah berjuang untuk keluarga dan tidak disadari mereka telah berjuang untuk negara. Masih patutkah mereka mendapatkan perlakuan yang penuh dengan penderitaan ?
Isdiyono, Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta
Ketua Forum ‘Berlima’ UKM Penelitian UNY
Yogyakarta

Gambar diambil dari : http://www.indonesiamedia.com/2004/06/early/manca/images/tkw/para-TKI.jpg

Senin, 21 Juni 2010

Dana Aspirasi DPR

Permasalahan bangsa yang membuat panggung politik kacau ini ternyata telah membuat para wakil rakyat frustasi. Anggaran untuk dana aspirasi adalah bukti bahwa para wakil rakyat mengalami sindrom down. Dalam artian, mental mereka dalam mendidik rakyat sudah menyimpang dari prinsip

Ketika mendengar rencana tentang dana aspirasi sebesar 15M per daerah pemilihan ini, saya jadi teringat slogan populer iklan yang tak lagi muncul. “Kalau bisa dipermudah, kenapa dipersulit.” Plesetannya jadi, kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah. Nah, ini dia yang saya maksudkan, ide dana aspirasi ini tak ubahnya kondisi mempersulit diri.

Rencana awal yang digaungkan oleh mereka yang mengusulkan adalah untuk mempercepat pembangunan. Kinerja pemerintah dalam memetakan wilayah dalam pembangunan dinilai lambat. Sehingga, pemerataan pembangunan pun dianggap kurang bisa memfasilitasi semua wilayah. Tetapi, pertanyaannya adalah apakah dana ‘sebesar’ itu bisa untuk mempercepat pembangunan?

Sebuah pertanyaan kritis untuk membentuk kerangkan berpikir bahwa pengusulan dana itu rawan akan mafia kasus. Pada tingkat pusat, dananya masih bisa utuh. Tetapi, seperti biasa, makin ke bawah pasti makin disunat. Kenyataan ini memang benar-benar terbukti masih menjadi bagian yang tumbuh dalam hati kecil para pemimpin Indonesia.

Begitupula dalam kasus ini, usulan untuk memberikan anggota legislatif adalah sebuah usulan jenius, sekaligus bodoh. Jenius karena memang rakyat kita membutuhkan uang untuk mengembangkan perekonomiannya. Tetapi, bodoh karena mendeskreditkan peran Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal (Menteri PDT).

Dana 15 M yang dipukul rata tentu menjadi langkah yang kurang bijaksana mengingat wilayah di setiap dapil tidaklah sama. Coba saja kita bandingkan D.I.Yogyakarta dengan Provinsi Jawa Tengah, tentu saja perbedaannya sangat kontras. Perbedaan luas wilayah menjadi sebuah fakta yang terelakkan bahwa dana meluncurkan dana itu untuk wilayah yang luas sama saja dengan menggarami lautan. Asinnya tak akan terasakan oleh ikan yang berenang di dalamnya. Ibarat ikan di lautan, rakyat sudah tidak memerlukan garam lagi untuk bertahan hidup. Masyarakat sudah mengerti bahwa politik uang tak dapat meningkatkan kehidupan.

Ketika nanti usulan itu diterima, maka yang paling tidak menerima adalah Menteri DPT. Pasalnya, setiap daerah sudah mengagendakan pembangunannya melalui Badan Pembangunan Daerah (Bappeda) masing-masing. Program selama jangka waktu lima tahun maupun yang berjangka pendek tahunan. Dana yang digunakan pun biasanya masih tersisa banyak. Usul dana aspirasi hanyalah akan menambah kerawanan makelar kasus (Markus).

Sudah seharusnya DPR membuat kebijakan yang diluluskan melalui jalan yang benar. Adakah jalan lain yang lebih baik dari sekedar mengurusi dana aspirasi yang belum jelas mekanismenya. Kebijakan yang melangkahi tugas menteri adalah kesia-siaan.

Isdiyono, Mahasiswa FIP
Universitas Negeri Yogyakarta

Rabu, 16 Juni 2010

Memaknai Kegagalan

Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan orang-orang menyadari betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan saat mereka menyerah (Thomas Alva Edison)

Hidup adalah sebuah pilihan, memilih untuk menjadi baik atau sebaliknya, memilih untuk menjadi buruk. Pilihan akan tergantung dari tujuan apa yang telah dicapai oleh seeorang. Pilihan ini akan bersesuaian dengan sikap dan keteguhan hati dalam mengarungi derasnya arus kehidupan. Yang setiap saat siap menelan siapa saja yang tidak kuat menahan gempuran demi gempuran arus tersebut.

Satu tujuan utama yang menjadi muara dari hamper semua orang adalah kesuksesan. Orang yang sukses diidentikkan dengan orang yang bisa mencapai sebuah kejayaan. Bisa melebihi capaian yang lain, di atas rata-rata. Demikianlah orang memandang kesuksesan itu sebagai sebuah berkah, keberuntungan atau warisan. Tidak melihat sejauh mana perjuangan awal yang telah dilakukannya.

Dalam kehidupan, orang yang sukses itu lebih sedikit jumlahnya daripada orang yang gagal. Namun, orang yang gagal memiliki peluang lebih besar daripada orang yang menyerah. Seperti tulisan di awal, bahwa ketika kita dihadapkan pada situasi yang memungkinkan kita untuk menyerah, terkadang tidak terpikir oleh kita untuk melanjutkan perjuangan.

Padahal, kesuksesan itu adalah sikap mampu bertahan dan melewati kegagalan tanpa kehilangan semangat. Kegagalan hanyalah sebuah batu sandungan kecil jika dibandingkan dengan nilai kesuksesan yang akan diraih. Kita semua bias melewati kegagalan demi kegagalan untuk meraih sesuatu yang lain. Bertahan, karena kegagalan itu tidak langsung besar. Semakin tinggi keinginan kita untuk berhasil, maka semakin besar pula bentuk ujian kegagalan itu.

Pemaknaan terhadap kegagalan inilah yang mungkin belum menjadi kebiasaan kita. Selama ini, kita lebih sering meratapi kegagalan dengan mengkambinghitamkan orang lain. Justru inilah yang menunjukkan bahwa kita memang tidak mampu. Alasan yang dibuat-buat malah akan menjerumuskan kita pada kegagalan yang lebih besar.

Memang, memutus sikap ini sangat sulit. Tetapi, ada hubungan timbal balik antara optimis dengan sikap yang kita ambil pada awal saat kita menentukan sikap. Apakah kita niatkan dengan memegang teguh kejujuran dan disiplin tinggi dalam berjuang, ataukah ingin memetik kesuksesan dengan cara apapun.

Orang yang menghalalkan segala cara, kesuksesannya tidak akan lama. Dia akan selalu dihantui oleh rasa bersalah dan tuntutan pertanggungjawabkan. Sayangnya, sikap inilah yang masih dipilih oleh orang-orang sukses di pemerintahan kita. Prinsip kejujuran belum menjadi landasan dalam meraih sebuah kesuksesan. 

Akibatnya, korupsi menjadi sebuha pilihan ketika dihadapkan pada gelimangan harta yang menggiurkan. Keimanan ditukar dengan sebuah kenikmatan yang tak akan bertahan lama. Kalau boleh disimpulkan, orang-orang inilah yang menutupi kegagalannya dengan memanfaatkan celah kelemahannya sendiri. Mereka menabung di bank yang salah, karena berakhir buntung.

Tentu saja, kita semua tidak berharap kesuksesan yang demikian. Sukses yang sesungguhnya adalah ketika kita berhasil dengan jerih payah dan jujur dalam mendapatkannya. Sukses itu tidak diukur dengan seberapa besar materi yang berhasil dikumpulkan, tetapi dari seberapa banyak pengalaman yang didapat. Sehingga, seseorang menjadi lebih dewasa dan semakin bijaksana dalam bertindak.

Begitupula dalam membangun negara ini. Kemiskinan yang selalu membuat mata kita sembab itu adalah cerminan dari sebuah kegagalan. Kegagalan pemerintah dalam mengatur dirinya sendiri telah mengorbankan rakyat dalam perjalanan menuju kesuksesan bersama. Menjadi bangsa besar yang rakyatnya sejahtera.

Apakah pemerintah mutlak disalahkan? Tentu saja tidak. Sebagai rakyat kecil, kita juga tidak boleh diam saja melihat pemerintah kita sedang sekarat. Memanjakan diri pada uluran tangan pemerintah adalah salah satu petanda bahwa kita tidak ingin berusaha merubah nasib. Kita sama saja dengan orang yang menyerah tanpa bertanding. Bukankah Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, jika mereka tidak merubah sendiri nasibnya?

Kepasrahan dan menyalahkan pemerintah yang tidak mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat adalah bukti kelemahan kita. Kedua penyakit inilah yang tidak akan meningkatkan pola berpikir kita, sehingga tak ada yang berubah ketika tangan tidak berubah. Kesuksesan dunia maupun akhirat tidak diukur dengan materi. Seperti kata pepatah Cina, pohon akan berbuah seiring dengan langkah kaki. Kesuksesan tidak dinanti tetapi disongsong.

Jadi, memaknai kegagalan tidak selalu berarti negatif. Pelajaran yang dapat diambil dari sebuah kegagalan adalah langkah awal kita dalam menyongsong sebuah kesuksesan. Kesuksesan dari bawah akan menyangga kesuksesan yang lebih besar. Tinggal, bagaimana kita mempersembahkan kesuksesan itu untuk negara. Apakah kita akan menanggapi tantangan itu, ataukah menjaga optimis untuk merubah bangsa kita ini. 
Wallahu a’lam. 

Isdiyono, Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta

Alhamdulillah nampang di Merapi 14 Juni 2010

Surat Cinta Kartini


“Kebangsawanan seseorang tidak ditentukan oleh keturunannya, tetapi oleh budi pekertinya…(Kartini: 1879-1904)”

Kartini yang kita kenal selama ini adalah seorang penulis surat untuk sahabatnya di Belanda, Nyonya Abendaon. Surat tentang keinginan-keinginan dan harapan dalam mencari makna dan hakikat wanita. Surat-surat itulah yang kemudian membuktikan bahwa pemikirannya jauh melebihi orang pada umumnya di masa itu. Sebuah surat yang kumpulannya menyibakkan kegelapan masa-masa suram kaum perempuan yang dimarjinalkan oleh sejarah. Pesan-pesan cinta yang ditujukan bahwa seorang wanita pun memiliki hak yang sama dalam pendidikan.
Ya, Habis Gelap Terbitlah Terang menjadi sebuah buku inspiratif bagi kaum feminis untuk mengemukakan pemikirannya menuju kebebasan. Pendidikan bagi kaum perempuan sangat mahal harganya pada saat itu. Bahwa hakikat perempuan masih diidentikkan dengan konco wingking, teman di dapur dan teman di kamar tidur. Perempuan mengalami penderitaan yang begitu hebatnya sehingga tak seorangpun yang menghargai suaranya.
Nah, yang kita kenang sekarang bukanlah sekedar perjuangannya melawan dominasi pria pada saat itu. Tetapi, bagaimana ketulusannya dalam membangun paradigma pendidikan yang menyeluruh. Gerakan pendidikan yang berusaha menghilangkan belenggu diskriminasi. Meskipun memang pada kenyataannya pendidikan tak dapat dijangkau, kecuali oleh para anak ningrat.
Gap perbedaan status sosial dan keadaan ekonomi yang tidak stabil begitu kentara. Hingga ketika kita membicarakan ningrat dan rakyat bagaikan melihat  langit dan bumi. Status sosial masih membelenggu interaksi persatuan kaum perempuan. Erakan mereka dibatasi oleh sikap ra ilok, atau tabu. Karena kodrat perempuan memang sudah digariskan sebagai pelengkap pria. Dan perempuan pun tidak berani mendobrak sistem ini dalam kehidupannya.
Melihat kondisi ini Kartini datang berbaur dengan rakyat, meninggalkan darah ningratnya untuk keadilan pendidikan. Bahwa satu-satunya jalan membebaskan pikiran dari hukum diskriminasi tradisi hanyalah melalui pemikiran. Perubahan cara pandang terhadap sebuah keadaan yang tidak memihak dan cenderung merugikan kaum perempuan.
Seperti cuplikan suratnya di atas, bahwa tingkatan sosial masyarakat itu ditentukan oleh bagaimana mereka berpikir. Bukan sebagai sebuah warisan genetik yang tidak bisa diganggu gugat. Budi pekerti yang baik adalah cerminan makna kata ningrat yang sesungguhnya.
Pemikiran ini sangat cocok ketika dikaitkan dengan kondisi pada waktu itu. Di mana kebodohan masih menjadi sesuatu yang umum. Pendidikan belum menjadi prioritas ketika untuk makan saja harus berkerja keras.
Pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan adalah untuk mengubah peran-peran kecil perempuan dalam menyuarakan pemikirannya. Karena pada hakikatnya, budi pekerti perempuan lebih lembut dan lebih menekankan kata hati. Tidak seperti kaum laki-laki yang mengandalkan otot dan kekuasaan. Sehingga terjadi kekacauan di berbagai sektor pemerintahan dan kehidupan sosial.
Melalui surat cintanya, dia ingin menyampaikan pada bangsa ini prinsip saling melengkapi. Bahwa perempuan tidak akan kehilangan kelembutannya ketika melengkapi kepemimpinan seorang laki-laki. Pergerakan itulah yang kini telah menerangkan kejelasan peran perempuan.
Kekerasan yang masih menimpa perempuan pada saat ini adalah keprihatinan Kartini. Kekerasan tidak lagi berguna dalam menegaskan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan tunggal. Tentu saja keprihatinan kita tujukan saat kita melihat masih banyaknya kasus kekerasan dalam rumah tangga, perdagangan manusia hingga kekerasan pada TKI kita di luar negeri. Perlu adanya penegakkan hukum yang tegas dalam melindungi pemikiran Kartini-Kartini selanjutnya.
Penegakkan ini harus dilaksanakan mulai dari dalam keluarga. Pendidikan yang benar dan adil menurut proporsinya. Sehingga, peran seorang Kartini bisa diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Atau hanya sebagai pesan cinta yang begitu saja berlalu ketika suratnya selesai dibacakan.
Kartini dengan keteguhan hatinya, masih bisa menjalani kehidupannya yang anggun sebagai perempuan. Dia melawan diskriminasi tanpa melupakan kodratnya. Keteladanan yang begitu jauh dalam memaknai nilai kebudayaan lebih dari semua orang yang menggembar-gemborkan kebijakan tanpa realisasi nyata.
Pada perkembangannya saat ini, peran perempuan memang telah disetarakan dengan laki-laki. Hal ini bisa dilihat dari semakin banyaknya pekerjaan yang semula identik dengan laki-laki menjadi pekerjaan yang tidak mengenal jenis kelamin. Efeknya adalah pada saat batasan-batasan norma kesopanan dilanggar. Maka, seorang perempuan dalam kondisi ini akan kehilangan keanggunannya. Tentu saja kita tidak ingin melihat Kartini menangis kan ? Wallahu a'lam

Isdiyono, Mahasiswa PGSD Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta

Sabtu, 20 Maret 2010

Beasiswa Untuk Mencegah Putus Sekolah

Pada waktu kesejahteraan perekonomian masyarakat sudah meningkat seperti sekarang ini, masih saja banyak masyarakat kurang mampu. Jumlahnya pun masih banyak, seperti yang dapat kita lihat di pemukiman kumuh, di tepi-tepi sungai, di pedesaan atau bahkan dapat kita jumpai di tepi rel-rel kereta api. Sungguh sangat ironis dan kontras dengan alam Indonesia yang menjanjikan banyak sekali kekayaan alam.
Salah satu cara untuk mengurangi kondisi ini adalah dengan pendidikan. Selama ini, pendidikan masih dipandang sebagai langkah ajaib untuk mengubah nasib. Bagaimana ilmu pengetahuan dan keahlian dapat meningkatkan pemikiran. Melalui pemikiran dan pengembangan keterampilan, maka seseorang dapat memperbaiki taraf hidupnya.
Sayangnya, untuk mendapatkan pendidikan yang layak pun, masyarakat miskin masih kesulitan. Mereka masih sulit untuk menyekolahkan anaknya pada sekolah-sekolah yang berkualitas karena terbentur biaya. Sekolah selalu saja memiliki alas an untuk menaikkan biaya sekolah melalui penerimaan siswa, iuran, pengadaan buku hingga penarikan sumbangan yang besarnya tidak tanggung-tanggung.
Memang, untuk masyarakat yang berlebihan biaya sekolah tidak ada apa-apanya dengan pendapatan mereka. Tetapi, korban sesungguhnya adalah masyarakat miskin yang sangat membutuhkan untuk memperbaiki tingkat keilmuannya. UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 telah mengamanatkan bahwa ciri-ciri pendidikan Indonesia adalah demokratis, adil dan tidak diskriminatif.
Sayangnya, ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada masyarakat lemah, sekolah pun tidak kurang akal untuk mengeksploitasi siswa. Misalnya saja dengan menaikkan anggaran, berlomba-lomba meningkatkan akreditasi sekolah-misal Internasional- hingga melaksanakan kegiatan piknik. Berbagai kebijakan itu pun tidak terlepas dari label wajib. Kalau sudah begini, masyarakat ekonomi lemah tinggal menunggu keajaiban agar anak-anaknya bisa mendapatkan pendidikan yang setinggi-tingginya.
Untuk menanggulangi putus sekolah, pemerintah pun telah mengeluarkan beberapa kebijakan. Namun, tidak jarang pula kebijakan tersebut menjadi bumerang yang mendiskriminasikan masyarakat kecil. Sebut saja dengan pengadaan kuota siswa KMS (Kartu Menuju Sejahtera). Memang, sekilas terlihat bahwa pemerintah dan sekolah menyediakan kuota siswa ber-KMS agar dapat masuk ke sekolah dengan mutu baik. Tetapi, pelayanan yang didapat tidak seperti siswa yang lain. Profesor Djohar, Rektor UST mengatakan bahwa siswa ber-KMS masih saja dianggap sebagai anak yang tak pandai, nakal dan tidak tertib (Harjo, 07 Januari 2009)
Di DIY, angka siswa yang terancama putus sekolah (retrieval) masih cukup memprihatinkan. DiNAS Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Dikpora, Januari 2009), menyatakan ada sedikitnya 3200 siswa SMA/SMK, 500 orang siswa SMP dan 440 siswa SD. Jumlah ini adalah data tahun lalu ditambahkan dengan data siswa yang terancam putus sekolah. Hal ini sungguh memprihatinkan mengingat Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar.
Untuk mencegah putus sekolah, nampaknya kebijakan pemberian atau peningkatan penerima beasiswa harus ditingkatkan. Beasiswa masih dapat kita pandang sebagai sebuah kebijakan yang mendewasakan. Logikanya adalah bahwa penerima beasiswa tidak terikat oleh peraturan-peraturan yang mensyaratkan. Dengan prinsip ini, maka siswa secara tidak langsung juga dididik agar cermat dan pandai dalam mempergunakan beasiswanya.
Kebijakan pun kemudian diambil sebagai langkah antisipatif. Pada tahun 2010 ini, Dikpora mengalokasikan Rp 5, 92 miliar rupiah untuk mengatasi siswa putus sekolah. Kebijakan ini ibarat angin segar, dapat memperpanjang napas anak-anak untuk dapat mengenyam pendidikan setinggi-tingginya dan seadil-adilnya.
Beasiswa bisa meringankan tuntutan siswa dalam pembiayaan sekolahnya. Minimal untuk membayar iuran wajib per bulan yang harus dibayar. Dengan demikian, siswa kurang mampu dapat sedikit bernapas lega. Setidaknya mereka masih bias bermimpi untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya. Sehingga tidak ada alas an lagi bagi putra-putra terbaik bangsa ini untuk maju.
Tentu saja tujuan jaring pengaman sosial ini dapat dilaksanakan dengan baik dan tepat sasaran. Sudah menjadi rahasia umum jika setiap ada kebijakan mengenai dana, pasti banyak mata-mata yang tergoda. Kejujuran dan system yang baik akan membuat kebijakan ini tepat sasaran. Bagaimanapun, pada masa-masa yang lalu kebijakan masih saja banyak yang tidak tepat sasaran.
Komitmen berbagai pihak untuk menyalurkan beasiswa secara cepat dan tepat akan mencegah siswa putus sekolah. Pentingnya sikap ini adalah untuk kemajuan pendidikan juga, karena bagaimanapun pendidikan bisa mengubah nasib bangsa kita ini. Tidak hanya sebagai bangsa yang diskriminatif, yang mementingkan kekuatan finansial dalam mencetak pendidikan yang berkualitas, tetapi menciptakan pendidikan yang merata.Bukankah bangsa ini tidak sendirian ?

Isdiyono, Bergiat di Gapura Trans-F UNY
Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta

Kamis, 18 Maret 2010

Menggugat Pergantian Kurikulum


Pendidikan kita disusun dalam sebuah sistem yang dijalankan untuk  mewujudkan sebuah cita-cita pendidikan nasional. Sistem inilah  yang kita sebut sebagai kurikulum. Sistem nasional ini diturunkan sebagai rancangan pembelajaran di lembaga formal sebagai sebuah pegangan seorang pendidik di lembaga formal dalam mengajar.
Kurikulum sebagai patokan dalam pembelajaran memiliki makna yang sangat vital bagi kesuksesan tujuan pendidikan. Namun, sesuai dengan prinsip dinamis, pendidikan akan selalu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendidikan tidak hanya mencakup nilai-nilai keabsahan teori saja, tetapi harus menyentuh ranah praktis.
Perubahan kurikulum memiliki dua arti yang berbeda dan bertolak belakang. Di satu sisi, perubahan kurikulum dianggap sebagai bagian dari perbaikan pendidikan kita. Pendidikan dituntut untuk menyesuaikan diri dengan tingkat perkembangan peradaban manusia yang semakin maju. Akan tetapi, terlalu seringnya kurikulum berubah menandakan bahwa sistem pendidikan kita masih memiliki banyak masalah. Kurikulum yang bergonta-ganti menimbulkan berbagai pertanyaan, ada apa dengan pendidikan kita ini ?
Tidak hanya di tingkat dasar dan menengah, kurikulum telah mengimbas sistem pendidikan di perguruan tinggi. Sama seperti pada pelaksanaan di tingkat pendidikan dasar dan menengah, kurikulum perkuliahan di perguruan tinggi juga bernasib yang tidak berbeda. Karena belum siap diterapkan, perubahan kurikulum yang dijadwalkan setiap lima tahun sekali menjadi molor dua tahun.
Sebenarnya, kurikulum baru di perguruan tinggi adalah pada tahun 2007. Namun, karena kurangnya kesiapan para praktisi di perguruan tinggi dalam melaksanakan kurikulum baru, akhirnya perubahan ini tertunda. Dampaknya sangat besar terkait dengan mata kuliah yang ditawarkan. Ganti kurikulum, berarti berganti pula dengan sistem perkuliahan yang harus diikuti oleh mahasiswa.
Perubahan ini menyulitkan mahasiswa yang ingin mengulang mata kuliah yang belum tuntas. Mahasiswa tingkat atas tidak lagi bisa mengulang mata kuliah di semester bawahnya. Akibatnya, mahasiswa harus menerima hasil perkuliahan yang telah dicapainya. Setidaknya, perubahan ini seolah tidak memberikan mahasiswa untuk memperbaiki kompetensi yang telah dicapainya.
Terkait dengan perubahan ini, ada beberapa mata kuliah yang dihilangkan, digabung dan ada juga yang dipisahkan. Memang, pendidikan yang baik adalah yang bisa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan mobilisasi manusia dalam beraktivitas. Pendidikan yang tidak dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata adalah omong kosong.
Pendidikan sudah seharusnya bias berafiliasi dengan dunia nyata, masyarakat. Bahwa sesuai dengan kodratnya, manusia memiliki dualisme peran, sebagai mahkluk individu dan sebagai mahkluk sosial. Keduanya sudah menjadi sebuah ketetapan dan memang harus dijalankan.
Pendidikan tidak bisa menjadi sebuah barang komoditi yang mudah ditambal sana, tambal sini. Karena subjek dalam pendidikan adalah manusia, bukan barang yang mudah dibuang sewaktu-waktu. Paham humanisme, memanusiakan manusia, harus dikedepankan dalam setiap detail pembelajaran di kampus. Kurikulum yang berubah tanpa disertai dengan fleksibilitas mahasiswa dalam memenuhi kebutuhan mata kuliah telah mematikan prinsip-prinsip humanisme.
Kurikulum memang harus berubah untuk meningkatkan kompetensi semua orang yang masih percaya pada sebuah lembaga bernama perguruan tinggi. Perlu adanya kebijakan yang memungkinkan mahasiswa untuk menuntaskan studinya di kampus. Kurikulum yang dipakai sebaiknya dapat fleksibel ketika mahasiswa mengambil sebuah mata kulian yang mungkin belum dituntaskan oleh seorang mahasiswa.
Isdiyono, Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta


Selasa, 16 Maret 2010

Kalau Ingin Kaya, (Jangan) Jadi Guru

Setiap orang pasti ingin kaya, mempunyai segala yang diinginkan. Namun, kenyataan selalu tidak sesuai dengan apa yang ada di dalam bayangan. Tidak ada salahnya berusaha menjadi kaya, kaya harta tetapi juga kaya hati nurani.
Agar bisa menjadi kaya, maka seseorang harus bekerja keras dan berdoa. Bekerja dengan cara-cara yang halal dan tidak merugikan orang lain. Pekerjaan yang baik adalah yang bisa menguntungkan dirinya dan orang lain di sekitarnya. Nah, tetapi ada juga profesi yang nilainya tidak bisa diukur dengan materi yaitu menjadi seorang guru.
Dari Nabi Muhammad mengatakan bahwa sembilan dari sepuluh pintu rejeki datangnya dari perniagaan. Nah, pekerjaan guru tidak bisa disamakan dengan perniagaan. Menjadi guru adalah panggilan jiwa, ketulusan dan keihklasan adalah kunci dasar menjadi seorang guru yang benar-benar guru.
Kalau kata John F. Kennedi, berilah sebanyak-banyaknya untuk negaramu tetapi jangan harapkan apa-apa dari negaramu. Begitulah seorang guru seharusnya, memperjuangkan profesinya secara terhormat. Sungguh tidak akan nyambung ketika seseorang ingin menjadi kaya, tetapi mengabdi sebagai guru.
Pada saat ini saja, gaji guru masih dianggap rendah. Bahkan lebih rendah daripada pekerjaan wiraswasta. Dengan profesinya, guru tidak akan bisa menjadi kaya kecuali kalau dia mempunyai keahlian atau pekerjaan sampingan.
Namun, kita sedikit mengelus dada ketika guru-guru merasa tidak diperhatikan. Ujung-ujungnya adalah melakukan aksi menggeruduk kantor dewan. Tindakan ini tidak salah, tetapi kurang tepat karena mereka meninggalkan muridnya terlantar tanpa ada yang mengajari mereka. Tak ada yang mengajari cara menghitung angka, merangkai kalimat, menyusun kegiatan atau merencanakan masa depan.
Di sisi lain, memang sebagai sebuah profesi, guru berhak mendapatkan gaji yang layak sesuai dengan kompetensi profesionalnya. Jadi, guru yang belum dapat membuktikan dirinya kompeten dengan ijasah tidak memiliki kewenangan untuk menuntut. Padahal, masih banyak juga guru yang belum memenuhi kualifikasi akademik. Kalaupun harus mengejar kualifikasi, umur sudah tidak mendukung. Jika diukur dengan masa bakti, jelas-jelas mereka seharusnya mendapatkan haknya.
Menjadi guru memang harus siap seratus persen menerjunkan dirinya dalam dunia anak. Perkembangan mental, kognitif, afektif dan spiritual anak adalah kewajiban seorang guru. Dengan segala sarana dan prasarana yang ada, seorang guru dituntut untuk memaksimalkan potensi anak. Hal ini sesuai dengan hakekat pendidikan yaitu memunculkan nilai-nilai baik yang dimiliki oleh anak untuk menghadapi kehidupannya.
Carut marut yang terjadi dalam pendidikan, khususnya pendidikan dasar, memiliki implikasi yang sangat besar. Di sinilah potensi dan kepribadian anak dibentuk. Mereka dididik agar potensi baik yang dimilikinya dapat muncul, tidak seperti di pendidikan menengah atau bahkan di pendidikan tinggi.
Seorang guru harus siap dengan segala resikonya, tetapi yang tidak boleh ditinggalkan adalah kewajiban dalam menjaga nama baik profesinya. Karena anak-anak sangat membutuhkan seorang guru untuk membimbing, mengajar, mendidiknya untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan.
Maka, tidak heran kalau tidak semua orang bisa menjadi seorang guru. Guru yang tidak hanya bisa menuntut haknya dan sekedar menjalankan kewajibannya, tetapi menjalankan profesinya dengan penuh rasa hormat. Seorang guru yang tidak sudi menukar seragamnya dengan segepok rupiah.

Senin, 22 Februari 2010

Anak Berkebutuhan Khusus


Dalam hidup ada keseimbangan, dalam keseimbangan itu ada yang dilebihkan dan ada yang dikurangkan. Melepaskan diri dari sebuah kebiasaan, atau kenormalan adalah sebuah pekerjaan yang luar biasa. Karena, terkadang kita lengah pada keadaan yang biasa, tidak sempat memikirkan sesuatu potensi yang luar biasa dari keadaan yang tidak biasa-biasa saja.
Begitulah gambaran ketika kita mencoba untuk mengenal mereka yang membutuhkan perhatian khusus. Baik yang ada di atas kebiasaan, maupun di bawah kebiasaan. Pendidikan selalu mengisyaratkan arti pentingnya tujuan yang tertuju pada perubahan perilaku. Pendidikan dilaksanakan untuk menggali potensi-potensi baik dari peserta didik dalam menjalani kehidupannya.
Pendidikan selalu mengedepankan humanisme, memanusiakan manusia. Pendidikan tidak berhak mengeliminasi segolongan kelompok hanya karena alas an berbeda. Lebih tepatnya, diskriminasi terhadap kekurangan, kecacatan dan semua yang dianggap berbeda.
Dalam bukunya, Inklusi : Sekolah Ramah untuk Semua, David Smith berusaha menggambarkan anak-anak yang kurang beruntung dalam kalimat-kalimatnya. “Anak-anak dengan keterbatasan mempunyai hak untuk dinilai dan dilibatkan secara penuh dalam kehidupan sekolah kita. Orang dewasa dengan keterbatasannya perlu dilihat bukan sebagai orang yang khilangan, tetapi seseorang yang kehadirannya kita terima.”
Pada kenyataannya, sekolah sebagai tempat pertukaran ilmu berlangsung adalah tempat cocok untuk menerapkan keadilan memperoleh pendidikan yang layak. Pendidikan untuk semua, karena pada kenyataannya sekolah-sekolah yang dianggap normal selalu saja mendapati peserta didiknya membutuhkan perhatian yang lebih.
Perbedaan antara seorang peserta didik biasa dengan yang luar biasa memang sulit. Terkadang, anak terlihat seperti seorang yang membutuhkan perhatian khusus. Tetapi, mungkin juga mereka adalah anak yang sedang mengalami penurunan motivasi, ataupun memang memiliki kepribadian seperti itu.
Kalau kita ingin mendapatkan contoh yang baik dalam memperlakukan mereka yang membutuhkan perhatian khusus, maka kita bisa belajar dari Toto Chan. Seorang gadis kecil nakal, yang dianggap bodoh dan tidak bisa dididik oleh orang tuanya. Hingga, pada kelas satu pun dia harus pindah sekolah, karena dianggap mengganggu oleh gurunya.
Kebenaran dalam sekolah akhirnya dia temukan di sekolahnya yang baru. Sebuah sekolah dengan konsepan alami, dengan pintu gerbang yang hidup karena berupa pohon. Guru yang menghormati minat anak dari disiplin ilmu tertentu. Bahkan bisa dengan mudah memilih mata pelajarannya sendiri, sesuai dengan keinginannya. Potensi anak-anak yang dianggap buangan itu pun tumbuh sesuai dengan minatnya.
Dia pun tumbuh sebagai seorang gadis kecil yang berkembang sesuai dengan kekhususannya sendiri. Juga seperti ketika dia dapat menghargai seorang temannya yang lumpuh dan seorang temannya yang kerdil, Yasuaki. Guru pun mendukung Yasuaki menemukan rasa percaya dirinya dengan mengadakan perlombaan yang memungkinkan hanya ia yang bisa melakukannya.
Sekolah seperti itulah sebenarnya yang sedang dibutuhkan dalam pendidikan kita, terkait dengan pelayanan pendidikan inklusif. Sebuah konsepan pendidikan yang menghargai anak yang memiliki keterbatasan untuk mendapatkan pendidikan sesuai dengan yang lain. Tentu saja sesuai dengan kapasitas yang masih dimungkinkan.
Bagi seorang pendidik, pengetahuan tentang mereka adalah sesuatu yang harus dimiliki. Tidak bisa tidak, karena hal ini terkait dengan tugas dan fungsi seorang pendidik yang memiliki misi dalam mensukseskan peserta didiknya. Menjadi seorang yang lebih berguna dari sebelumnya, menjadi lebih percaya diri menatap dunia.
Penanganan yang benar, akan memberikan rasa aman dan keadilan pendidikan bagi mereka. Bahwa pendidikan tidak menjadikan keterbatasan sebagai sekat yang membatasi tujuan pendidikan itu sendiri. Tentu saja, ketika seorang pendidik bisa memahami keberadaan mereka, maka pendidik bisa membimbingnya dalam menggali potensi baik dari mereka. Sesuai dengan nilai-nilai dan budaya yang berlaku, untuk masa depan yang indah dan harmonis dalam menanti perubahan.
Isdiyono, 22 Februari 2009

Referensi : Smith, David J. 2006. Inklusi : Sekolah Ramah untuk Semua. Bandung : Nuansa.