Oleh : Isdiyono*
Di sepanjang jalanan, di tengah hingar-bingar lampu malam, sekelompok anak berkumpul, mendendangkan sebuah lagu. Mereka menghabiskan malam dengan menikmati hidup di bawah sinar lampu jalan, ditemani asap rokok yang tak berhenti mengepul dan tidak jarang pula minuman keras, hingga narkoba. Masa depannya suram, sesuram malam yang dijadikannya tempat berlindung. Tempat melarikan diri dari pahitnya kenyataan hidup. Bahwa mereka harus berjuang untuk bertahan hidup, mencari identitas diri dan kebebasan.
Begitulah sedikit gambaran yang muncul ketika kita berjalan pada malam hari di sepanjang jalur perkotaan. Anak jalanan telah berkembang menjadi sebuah masalah yang tak kunjung usai. Keberadaannya serba membuat dilema bagi pemerintah maupun masyarakat.
Bagaimanapun, mereka adalah bagian dari kita. Mereka adalah bagian dari anak-anak yang di masa mendatang diharapkan membangun bangsa. Keberlangsungan dan kemajuan bangsa tergantung dari kualitas dan pemikian pemudanya.
Pada dasarnya, negara memiliki kewajiban untuk kewajiban untuk mengentaskan mereka dari kemiskinan dan kebodohan, terutama dalam berpikir. Sesuai dengan UUD 1945 pasal 34 yang telah dengan jelas bahwa anak terlantar dan fakir miskin dipelihara oleh negara. Memang, untuk merealisasikannya bukanlah pekerjaan yang mudah. Namun, setidaknya kondisi anak jalanan yang kian bertambah ini perlu diperhatikan.
Kemiskinan
Fenomena meningkatnya jumlah anak jalanan ini dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor. Salah satu factor dominan adalah kemiskinan, ya kemiskinan yang tidak kunjung berkurang ini telah mendorong rakyat pedesaan melakukan urbanisasi besar-besaran. Alasannya adalah bahwa harga kebutuhan pokok yang tak kunjung usai. Kota menjanjikan penghidupan yang layak, di mana tenaga ataupun modal kemampuan yang sedikit dapat digunakan untuk menghasilkan uang.
Mereka datang ke kota juga tidak disertai dengan kualitas dan kemampuan yang memadai. Akhirnya, pekerjaan apapun mereka lakukan untuk bertahan hidup. Kemegahan kota telah menjelma menjadi candu yang kuat untuk bertahan. Kemudian menetap dan berkeluarga di kota meskipun tidak memiliki tempat tinggal. Dan anak-anak yang dilahirkan pun akhirnya juga terlahir tanpa tempat tinggal.
Tumbuh dan berkembang di lingkungan yang keras dan mengutamakan kerja telah membuat kehidupan mereka tidak terarah. Hidup di jalanan yang keras telah membentuk mereka menjadi manusia yang tangguh dalam memenangkan kompetisi.
Pada kondisi yang demikian, mereka tidak lagi tertarik dengan pendidikan. Pendidikan yang mahal, berstandar tinggi tetapi tidak jujur, komersialisasi pendidikan dan diskriminasi telah membuat mereka tak bermimpi untuk sekolah setinggi-tingginya. Apalagi, jika mereka berpikir kalau setelah, katakanlah lulus SMA, hanya meneruskan perjuangan orang tuanya di kota, memperpanjang kisah hidup di jalanan.
Sekolah sejauh ini tampaknya belum begitu familiar bagi mereka. Bagaimana mau tertarik sekolah setinggi-tingginya kalau untuk membayar biaya sekolah saja tidak mampu ? Berbagai beasiswa ataupun sekolah gratis tidak begitu menolong. Apalagi beban mental yang disandang ketika bertenu dengan teman-teman yang borju.
Padahal, pendidikan adalah salah satu jalan yang bias mengubah nasib mereka, sekaligus dengan pemikirannya. Dengan pemikiran yang progresif, maka semangat untuk memperbaiki nasib akan muncul. Sedikit demi sedikit akan memunculkan semangat untuk tidak lagi hidup di jalanan.
Berkaca dari India
Dalam hal pendidikan, bahkan kita masih kalah disbanding dengan India. Sebuah negara dengan penduduk tertinggi nomor 3 dunia dengan wilayah yang cukup kecil. Negara yang sering digambarkan dengan kondisi rakyatnya yang miskin. Namun, jangan ditanya soal pendidikan dan perkembangan teknologinya. Sudah sangat jauh dibanding dengan Indonesia.
Pendidikan yang maju itu tidak begitu saja didapat, seperti mendapat durian runtuh. Tetapi melalui proses panjang dan berliku. Salah satu kebijakan yang pantas untuk ditiru adalah komitmen mereka untuk menyelenggarakan pendidikan murah dan bermutu tinggi.
Bayangkan saja, untuk menyelesaikan jenjang SI, seseorang hanya merogoh kocek sebesar 2 juta saja, S2 tak lebih dari 4 juta dan S3 tak lebih dari 6 juta (Kompas,12/12/09) Bandingkan dengan biaya masuk perguruan tinggi di Indonesia. Rata-rata saja seorang mahasiswa baru menghabiskan 15 juta untuk menyelesaikan S1 di universitas yang dianggap murah. Apalagi untuk biaya masuk minimal sudah mencapai 6 juta, belum lagi jika lewat jalur-jalur belakang yang lebih banyak lagi.
Itulah mengapa banyak siswa yang memilih tidak melanjutkan sekolah di perguruan tinggi. Pekerjaan seadanya menjadi pelarian dari kejamnya pendidikan. Biaya yang begitu tinggi telah menghalangi mimpi mereka. Mengubur dalam-dalam cita-cita membangun bangsa. Pendidikan mahal dengan mutu yang kurang telah mempersulit pendidikan kita untuk maju.
Maka, sudah seharusnya pendidikan yang murah dan bermutu tinggi sudah sangat mendesak untuk diwujudkan. Tidak perlu menunggu waktu dan pertimbangan, seperti yang sudah diamanahkan oleh UNICEF bahwa setiap Negara harus menyelenggarakan pendidikan gratis bagi rakyatnya. Program seratus hari Mendiknas harapan kita semua adalah sudah bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Bukan hanya sekedar alat untuk melanggengkan kekuasaan.
Sehingga, anak-anak jalanan tak lagi menjadi pemandangan kita sehari-hari. Pendidikan dibutuhkan untuk mengubah pola pikir, sekaligus memerikan kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk mendapatkan akses pendidikan yang sama.
Tulisan ini dimuat di Koran Merapi Rabu, 10 Februari 2010
*Isdiyono, Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta
Bergiat di forum Gapura Trans-f
Tulisan yang sangat bagus, kritis, dan mencerahkan.
BalasHapus